Tuesday, March 14, 2017

Nama-nama Harum yang Hilang

Wawancara dengan Dr. Sarkawi B. Husain, M.Hum.
Dosen Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga



Berbicara soal pahlawan nasional, masyarakat Surabaya sangat akrab dengan nama-nama seperti Bung Tomo, HOS Tjokroaminoto, Soekarno dan M. T. Haryono. Sedangkan untuk tokoh politik yang tercatat ada Try Sutrisno, Wakil Presiden Indonesia ke-6 periode 1993-1998 dan Menteri Luar Negeri Indonesia tahun 1956-1957 yaitu Roeslan Abdulgani.

Nama-nama tersebut dan nama-nama lainnya yang tercatat dalam sejarah tokoh Surabaya, seluruhnya adalah laki-laki. Tokoh perempuan Surabaya sendiri sangat jarang disebutkan dalam sejarah. Padahal menurut Dr. Sarkawi B. Husain, dosen jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga Surabaya, Surabaya memiliki tokoh-tokoh perempuan yang tidak terekspos dan minim sekali literatur tentang mereka.

“Sepanjang pengetahuan saya, sekali lagi sepanjang pengetahuan saya, Surabaya berbeda dengan kota-kota lain Indonesia yang memiliki tokoh perempuan yang terkenal, seperti R.A. Kartini, Dewi Sartika, Tjut Nyak Dien, dan lain-lain. Namun demikian, pada tahun 1950an Surabaya memiliki banyak tokoh perempuan yang aktif dalam dunia politik dan sosial. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Ny. R.A. Poeger yang lahir pada 27 November 1909, dan Ny. Moedjiati Meodjio yang lahir pada 15 Mei 1915,” tutur Sarkawi.

Sejarah dari kedua tokoh ini ia ketahui dari buku terbitan tahun 1958 yang berjudul “Gema: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan Propinsi Djawa Timur”. Sarkawi sendiri mengakui bahwa memang cukup sulit menemukan sumber bacaan yang menceritakan soal Ny. R. A. Poeger dan Ny. Moedjiati Meodjio.

Ny. R.A. Poeger sangat aktif dalam dunia sosial, pergerakan, dan politik. Pada tahun 1950-1956, beliau menjadi anggota Dewan Pemerintah Daerah Sementara Kota Besar Surabaya. Kemudian menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Peralihan (DPRDP) dan dipercaya sebagai ketua Fraksi Partai Nasional Indonesia (PNI),” jelas penulis artikel “The Improvement of Kampong as an Instrument to Mitigate Floods in Surabaya” ini.

Ny. Poeger.
Sumber: Gema: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan Propinsi Djawa Timur, 1958


Dalam organisasi sosial politik, Poeger memiliki pengalaman  yang banyak. Perempuan kelahiran 27 November 1909 di Bangil, Pasuruan ini menjadi anggota pengurus atau penulis Jong Java Malang tahun 1923-1925. Dilanjutkan pada tahun 1929 ia menjadi anggota PNI Malang. Poeger juga dipercaya sebagai Ketua Organisasi Sosial Budi Rini Malang pada tahun 1934-1942. Ia lalu pindah menjadi anggota PNI Surabaya dan pada tahun 1946-1953 menjadi Penulis Dewan Daerah dan Anggota Dewan Pusat, dan catatan terakhit menyebutkan ia pernah menjabat sebagai Ketua Komisariat Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI) Jawa Timur di tahun 1952-1953.

Fraksi PNI DPRD-P Jawa Timur. Ny . R.A.A. Poeger
sebagai ketua fraksi baris depan kedua dari kiri
Sumber: Gema, 1958:61


Selain sepak terjangnya di dunia sosial dan politik, sisi kehidupan Poeger lainnya adalah ia menyelesaikan pendidikan di MULO pada tahun 1925. Ia juga memiliki ijazah Stenografie dan Typen System Sir I Pitman (1928) dan System Groote (1929) dari Federatie van Stenografie Leeraressen di Indonesia. Pada tahun 1932-1947, Poeger menjadi pemimpin umum kursus stenografie dan typen di Malang dan pada tahun 1949-1951, Poeger memimpin lembaga yang sama di Surabaya.

Tokoh perempuan yang juga berkecimpung dalam dunia sosial dan politik adalah Ny. Moedjiati Meodjio. Perempuan kelahiran 15 Mei 1915 ini adalah seorang anggota parlemen perempuan dari PNI. Selain itu, ia juga merupakan seorang guru. Moedjiati Meodjio merupakan menyelesaikan pendidikannya di Hollandsch Indlansche School (HIS) dan MULO di Yogyakarta serta Katholiek Middelbare Huishoudschool di tahun 1932.

Ny. Moedjiati Meodjio
Sumber: Gema: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan Propinsi Djawa Timur, 1958

“Ny. Moedjiati Meodjio memiliki dalam dunia sosial-politik tidak kalah hebatnya dari Ny. R.A. Poeger. Dia adalah anggota parlemen perempuan dari PNI dan seorang guru. Pada tahun 1934-1936, ia menjadi guru HIS Parindra di Surabaya. Tugasnya sebagai seorang guru membuatnya berpindah-pindah dari daerah satu ke daerah lainnya, mulai dari Yogyakarta, Bondowoso, Balikpapan, Samarinda, hingga Surabaya. Lalu di tahun 1953-1957, beliau diangkat sebagai penilik pada kantor Inspeksi Pendidikan Masyarakat Kota Besar Surabaya,” kata Sarkawi.

Tidak hanya sampai di situ, kiprah Moedjiati Meodjio di dunia sosial politik dilanjutkan sebagai ketua Kongres Wanita Surabaya pada tahun 1955-1957. Di rentang tahun yang sama pula, ia menjadi ketua umum Korps Sukarela PMI Surabaya, anggota Pleno Dewan Daerah PNI Jawa Timur, Ketua Umum Dewan Daerah Wanita Demokrat Jawa Timur, Wakil Ketua Gabungan Organisasi Wanita Surabaya, dan anggota DPRDP Provinsi Jawa Timur.

Seksi Sosial DPRDP dimana Ny. Moedjiati Meodjio menjadi salah seorang anggotanya. Sarkawi meyakini bahwa ia berada di pojok sebelah kiri bawah.
Sumber: Gema, 1958:55

Sarkawi menyakini bahwa kedua tokoh tersebut diberi kepercayaan yang tinggi oleh masyarakat, terutama melihat posisi-posisi yang pernah ditempati oleh mereka.

“Ini terbukti dari keduanya yang pernah menjadi pemimpin dari berbagai lembaga hingga menjadi anggota DPRD-P. Posisi ketua fraksi yang pernah diemban oleh Ny. Poeger misalnya, menjadi bukti bahwa kapasitasnya sebagai tokoh perempuan yang terdidik sangat diparesiasi oleh lingungan sekitarnya,” jelasnya.

Ny. R. A. Poeger dan Ny. Moedjiati Meodjio mungkin hanya sekelumit dari tokoh-tokoh berjasa perempuan lainnya yang kita ketahui. Sarkawi pun sangat menyayangkan hal ini, ia berharap Pemkot Surabaya bisa melakukan lebih untuk keabadian tokoh-tokoh ini, sebelum nama-nama harum ini hilang ditelan waktu.

“Sepanjang pengetahuan saya, belum ada hal yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya terhadap paling tidak kedua tokoh ini. Bisa jadi ini karena ketidaktahuan pemerintah kota akan adanya perempuan-perempuan yang berjasa dan penting dalam perjalanan Kota Surabaya atau sebab lain yang saya tidak tahu. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk menghargai tokoh-tokoh ini, termasuk tokoh lain yang berjasa pada perjalanan Kota Surabaya. Pertama, Pemkot perlu segera membuat “monumen kata” terhadap tokoh ini.  “Monumen kata” yang saya maksud adalah perlu segera dilalukan penelusuran dan pengumpulan data berkaitan dengan perjalanan hidup mereka. Hal ini mungkin bisa dilakukan oleh Kantor Arsip Kota dan Perpustakaan. Dari data tersebut, biografi yang “serius” atas keduanya perlu segera dibuat. Perlu diingat, karena faktor usia, kita berkejaran dengan nara sumber atau keluarga yang  bisa memberikan keterangan tentang tokoh-tokoh tersebut. Kedua, jika buku biografi atau “monumen kata” tersebut sudah jadi, maka perlu diseminasikan kepada berbagai kalangan, seperti sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya. Ketiga, Pemkot Surabaya perlu memikirkan untuk memberikan penghargaan kepada mereka (tentu melalui ahli warisnya) yang bentuknya terserah pemkot, entah dalam bentuk material atau yang lain.” 

Sunday, December 11, 2016

Banyolan Samar Srimulat

Edipet, pemusik dibalik riuh pertunjukan Srimulat, dulu hingga sekarang.

             Apa kabar Srimulat? Banyolan “Hil yang mustahal!”, “Mak bedunduk!” dan “Mak jegagik!” akrab sekali di mata dan telinga kita pada tahun 1980-an hingga awal 2000-an. Tak hanya itu, gaya khas yang dimiliki tiap pelawak juga menambah daya tarik Srimulat, seperti Tessy dengan gaya keperempuanannya atau Gogon dengan rambut mohawk dan kumis uniknya. Gaya-gaya ikonik tersebut tak bisa lepas dari benak kita. Memori tersebut selalu ada, walau samar-samar.

           Tahun 1970-an memang merupakan masa-masa keemasan Srimulat, baik di dunia pertelevisian maupun di luar. Berbagai sumber menyebutkan masa kejayaan tersebut hanya berlangsung selama lima tahun, termasuk Edipet, pemusik Srimulat yang sudah bergabung sejak tahun 1970-an sampai sekarang. Edipet merupakan salah satu maestro dibalik kekhasan musik Srimulat. Ia merupakan pemusik serba bisa, dan telah merasakan gegap gempita kesuksesan hingga kemerosotan Srimulat di titik terbawah.

          “Srimulat berdiri di tahun 1953. Saya sendiri masuk di tahun 1970-an. Waktu itu pelawaknya ada Marlena, Ribut Rawit, dan lainnya. Semuanya orang top-top. Pemusik-pemusiknya juga tokoh terkenal semua,” kenang Edipet.

          Srimulat mulai menjajal televisi tanah air ketika televisi muncul di tahun 1978. Sebelumnya, Srimulat menggelar pentas keliling di berbagai tempat maupun kota. Edipet memiliki andil besar dalam memperkenalkan Srimulat ke dunia pertelevisian, karena sebelum Srimulat masuk TV, Edipet menjadi langganan pemusik untuk acara TV terlebih dahulu.

           “Saya bisa masuk siaran TV di Surabaya. Saya sering siaran band di Jogja dulu, terus saya ke Surabaya masuk TV karena pemerintah tidak memperbolehkan TV ada hiburan dulu. Karena saya sering masuk TV, Srimulat juga pengen masuk TV. Nah, saya ini punya koneksi di departemen-departemen TV, akhirnya Srimulat bisa masuk TV Surabaya. Di Jakarta juga akhirnya bisa masuk,” tutur pria berumur 84 tahun ini.

                Namun, untuk bisa tampil di TV Jakarta bukan perkara mudah. Mereka harus mengalahkan grup-grup lawak lain yang tak kalah hebat. Tetapi, masa tersebut ia kenang sebagai masa-masa penuh kebahagiaan dan kaya pengalaman.

“Dulu masa-masa ingin masuk TV itu Srimulat ketemu dengan saingan-saingan, seperti Ribut Rawit, Lokaria Banyuwangi, itu banyak yang akhirnya ikut Srimulat. Lokaria itu bagus sekali, salah satu saingan terberat waktu itu,” katanya.

Akhirnya di tahun 1990-an, Srimulat masuk ke Indosiar dengan acara bertajuk “Srimulat”. Puncak kejayaan Srimulat dirasakan di tahun-tahun ini. Mereka juga mulai melebarkan sayap di beberapa kota lain selain Surabaya dan Jakarta, yakni Semarang dan Solo.  Edipet sendiri mengakui adanya perbedaan jumlah penonton yang signifikan untuk Srimulat dulu dan sekarang. Saat ini, Srimulat mampu menarik perhatian sekitar 400 penonton untuk pertunjukannya yang diadakan satu bulan sekali di Gedung Srimulat, belakang Hi-Tech Mall, Surabaya. Dulu, Srimulat ketika di Jakarta mampu menggaet penonton dengan jumlah dua kali lipat, bahkan lebih, untuk pertunjukan yang diadakan sekitar empat bulan sekali.

“Kemarin terakhir perform ada sekitar 400 pengunjung. Kalau di Jakarta dulu enak sekali, senang. Jalan untuk masuk ke kursi itu sampai diisi orang, saking ramainya. Mungkin dulu bisa sampai 800-an penonton di Taman Ismail Marzuki (TIM) itu. Ini kenangan paling menyenangkan. Sampai bintang-bintang kayak Roy Marten, Rano Karno, itu semua pingin lihat pentasnya Srimulat. Kursi sudah habis gitu ya orang-orang bilang ‘saya berdiri mau,’ termasuk bintang-bintang ini. Ini selama lima tahun seperti ini,” cerita Edipet sambil tersenyum.

Menurutnya, keberhasilan Srimulat adalah hasil dari lawakan yang masih berunsur Jawa, tetapi tetap mengikuti perkembangan jaman. Serta keluwesan Srimulat sebagai pertunjukan seni yang bisa dikolaborasikan dengan kesenian-kesenian lain.

“Guyonan Srimulat ini mengikuti jaman. Kalau dulu sekali kan Mataraman. Srimulat ini (terkenal) karena kita ini pertunjukan sandiwara nasional. Dimasuki ludruk bisa, wayang orang bisa, macam-macam. Tambah ramai. Di Indonesia ini yang sukses ya Srimulat, walaupun kenyataannya sekarang kayak gini, tapi masih mending kita bisa main. Banyak grup-grup yang sudah mati,” ujar Edipet.

Pemain Srimulat yang masih setia hingga sekarang adalah Bambang Gentolet dan ditemani oleh pelawak-pelawak muda lainnya. Lawakan Srimulat juga mengalami perubahan.

“Cara menyuguhkan juga lain. Dulu itu primadona (perempuan cantik) nggak boleh ngelawak, hanya sebagai Ibu, anak, atau istri. Yang melawak yang laki-laki. Cewek hanya untuk cantik-cantikan, kayak mbak Indri, mbak Vera. Guyonannya misalnya, ‘raine koyok ngono, tapi sikile meletek meletek’,” katanya sambil tertawa.

              Lima tahun masa keemasan Srimulat telah berakhir. Namun, tidak menyurutkan kesenangan hati Edipet yang sudah sangat cinta dengan Srimulat. Bergabung dengan Srimulat membawanya pada dunia musik yang jauh lebih luas, termasuk dalam bermain saksofon. “Kalau di Amerika namanya Kenny G, kalau di sini Kennedi,” kelakarnya. Selama itu, ia bertemu dengan berbagai grup musik kawakan, namun ia tetap meneguhkan dirinya dalam Srimulat. Ilmu-ilmu yang ia dapat juga akhirnya digunakan untuk mengembangkan musik Srimulat.

“Senangnya (bergabung dengan Srimulat) itu seperti punya pegangan jiwa. Wenak gitu, lho, nggak bisa terpengaruh. Sudah senang sekali di Srimulat, luar biasa lah. Nggak bisa dibayangno. Bersyukur,” ujarnya dengan senyum haru.

Puluhan tahun menemani Srimulat, Edipet pun kehilangan banyak teman-teman di dunia lawak maupun musik yang sudah tutup usia. Tetapi, Edipet tidak pernah berhenti berharap untuk masa depan Srimulat yang lebih cerah.

“Sekarang suasana sudah lain sekali. Dulu penonton gampang kalau mau ke gedung Srimulat tinggal masuk di depan gedung, sekarang kan nggak bisa, lha, nanti kalau ada ular jatuh gimana,” candanya. Ia menuturkan akses masuk yang repot ini menjadi salah satu faktor berkurangnya penonton Srimulat.

“Sekarang pemusiknya juga sedang vakum, karena alat musiknya sudah jelek semua. Ya, saya berharap, kalau Srimulat punya modal, kapan bisa main setiap hari, atau paling tidak satu minggu itu tiga atau empat kali, terutama malam Jum’at, Minggu, dan Senin. Mungkin Kamis juga. Itu harapan terbesar saya,” tuturnya.

Sunday, November 27, 2016

Menghidupkan Kembali Sawunggaling, Sang Pahlawan Pengusir Penjajah Asal Lidah Wetan

Joko Berek kerap digambarkan sebagai sosok laki-laki desa yang kuat, dan setia ditemani oleh kuda dan ayam jagonya yang bernama Sawunggaling.

        Pagelaran budaya yang sempat ditinggalkan, kini kembali disemarakkan. Geliat kegiatan budaya ini diprakarsai oleh kampung-kampung bersejarah di Surabaya. Mereka bergabung dalam rangkaian ritual Sedekah Bumi, yaitu ritual yang bertujuan untuk menyampaikan rasa syukur masyarakat kepada bumi atas hasil panen yang melimpah. Selain berupa arak-arakan yang memperlihatkan limpah ruah hasil panen, beberapa kampung menunjukkan kekhasan daerah mereka dari berbagai sisi, seperti Kelurahan Made yang menampilkan okol atau gulat tradisional, ludruk khas Kelurahan Sonokwijenan, dan pertunjukan legenda pahlawan asal Kelurahan Lidah Wetan yaitu Joko Berek alias Sawunggaling.

       Pertunjukan budaya ini disebut sebagai “Kirab Kadipaten Suroboyo” oleh warga Lidah Wetan. Kirab yang diadakan pada hari Minggu, 23 Oktober 2016 ini merupakan kirab kelima sejak pertama kali diadakan di tahun 2012. Dalam kirab ini, warga berlomba-lomba menampilkan karya yang dibuat secara gotong royong, seperti tumpeng raksasa berupa sayur dan buah sebagai persembahan. Tak ketinggalan simbol-simbol khas dari sejarah Sawunggaling yang dibuat versi raksasa, seperti ayam jago yang merupakan hewan kesayangan Sawunggaling, kuda, kemudian berperan sebagai Sawunggaling versi kecil hingga dewasa, orang tua Sawunggaling yakni Jayengrana dan Dewi Sangkrah, dan lain-lain. Semua seakan dihidupkan kembali lewat kirab ini.

Arak-arakan sayur dan buah-buahan mejadi simbol limpah ruah berkah bumi. Beberapa diberi hiasan uang palsu maupun uang asli.

          “Kami mengadakan kembali acara ini, karena ini merupakan salah satu pendidikan tentang budaya yang harus diberikan kepada seluruh masyarakat, mulai dari anak-anak kelas PAUD sampai mereka yang sudah lansia. Karena kan kita bukan hanya bercerita, tapi memberikan pemahaman soal perilaku Sawunggaling yang terpuji dan patut dicontoh, dengan tema kampung ndeso,” kata Andi Bocor selaku ketua pelaksana kirab.

          Legenda Joko Berek atau Sawunggaling dulu sering diangkat dalam pentas Ludruk maupun Ketoprak. Banyak sekali versi cerita Sawunggaling, namun semuanya memiliki garis besar yang sama. Sawunggaling dikisahkan sebagai anak dari Jayengrana dan Dewi Sangkrah. Jayengrana adalah seorang Adipati Surabaya yang terhormat, sedangkan Dewi Sangkrah adalah gadis desa dari Lidah Donowati, sebutan lawas untuk Lidah Wetan.

Ilustrasi pernikahan Adipati Jayengrana dan Dewi Sangkrah.

      Ketika usia kehamilan Dewi Sangkrah menua, Jayengrana tidak pernah lagi datang untuk menemuinya. Maka sejak Joko Berek lahir, ia tidak pernah mengenal Ayahnya. Ketika dewasa, ia memutuskan ingin menemui Ayahnya. Ditemani oleh ayam jago kesayangannya yang bernama Sawunggaling, Joko Berek pergi ke Kadipaten. Namun, tak semudah itu mendapatkan pengakuan dari Jayengrana. Ia harus mengikuti sayembara memanah di Menara Galak. Pemenang sayembara akan menjadi adipati selanjutnya. Joko Berek pun memenangkan sayembara tersebut dan berhasil menjadi Adipati Surabaya. Selama menjadi adipati, ia terus melawan penjajah dan menjadi salah satu pahlawan Surabaya.

       “Sisi positif dari cerita ini yang ingin kita ajarkan ke seluruh generasi masyarakat di Lidah Wetan, bahwa Sawunggaling merupakan sosok dengan perilaku yang baik, pantang menyerah, dan semangat melawan penjajahnya itu luar biasa, tanpa kenal lelah. Kami ingin masyarakat juga memiliki perilaku dan sifat seperti ini,” jelas Andi.

        Ide awal dari kirab ini adalah ketika Andi dan teman-temannya yang berasal dari berbagai paguyuban se-Surabaya, ingin mengadakan acara doa bersama yang diteruskan dengan kegiatan budaya. Setelah itu, baru muncul rangkaian acara lainnya, seperti kirab budaya, pertunjukkan wayang kulit, tari remo, pawai, dan sebagainya.

“Banyak sekali paguyuban yang mendukung acara ini, kurang lebih ada 50 paguyuban, seperti Gaman, Saman Tomo, pecinta alam, karate, dan lain-lain. Intinya, kami ini inginnya menyemangati masyarakat. Ojo ngaku weruh sejarah Suroboyo nek gak ngerti Sawunggaling. Karena bagi saya, budaya hanya akan menjadi sebatas kata saja kalau tidak dikerjakan seperti ini. Istilahnya, tanpa digali, sumur itu tidak akan keluar air,” ujar pria yang sudah 38 tahun hidup di Lidah Wetan ini.

GAMAN termasuk dalam salah satu paguyuban yang tak pernah absen berpartisipasi dalam kirab budaya.

Andi menyadari bahwa kehidupan di Surabaya yang merupakan kota metropolitan membuat masyarakat semakin jauh dari budaya dan sejarah kota. Masyarakat terlalu dikepung oleh modernitas dan melupakan akar identitanya. Ia pun merasa bahwa kirab ini merupakan salah satu bentuk perjuangan yang tidak akan pernah selesai.

“Anak-anak sekarang sibuk dengan gadget, televisi, lupa dengan budaya asli. Ini adalah salah satu bentuk perjuangan kami. Dulu kirab budaya seperti ini memang sepertinya sudah mati, tapi belum, hanya mati suri. Sekarang kita perjuangkan agar terus hidup kembali,” tuturnya.

Kirab bagi Andi merupakan bagian dari Sedekah Bumi ini merupakan kesempatan bagi seluruh masyarakat untuk mensyukuri nikmat yang diberikan oleh bumi, sekaligus sebagai napak tilas leluhur terdahulu. Antusiasme masyarakat pun sangat besar, mengingat acara ini selalu ramai peserta maupun penonton selama lima tahun ini dan terus berkembang. Ini menandakan bahwa masyarakat tidak lupa, maupun ingin melupakan. Menurutnya, masyarakat hanya ingin diingatkan kembali dengan cara bersama-sama berdoa, berkreasi, berpesta, demi mempererat silaturahmi dengan orang-orang yang tak lagi dianggap hanya sebagai tetangga, tetapi saudara.

-------------------------------------------------------------------

Foto-foto ini saya unggah, karena dibuang sayang. Tidak ahli fotografi, dengan kamera yang pas-pasan. Tapi bagi saya, yang penting cerita dan keunikan dibalik foto tersebut. Semoga suka!











Tuesday, November 22, 2016

Warna-Warni Karya Tangan Penghuni Liponsos Surabaya


                Belasan wanita terlihat sedang asyik menyambung-nyambungkan potongan kain dengan berbagai warna di atas karung tipis. Beberapa belum terlihat karya apa sebenarnya yang ingin ia tunjukkan, beberapa lainnya sudah menyelesaikan satu dan memulai selanjutnya. Siang itu di hari Rabu, 16 November 2016, para wanita yang memiliki gangguan jiwa ini dengan penuh ketelatenan menggarap keset berbahan dasar sisa kain kaos.

                Wanita-wanita ini adalah penghuni Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Keputih, Surabaya. Beberapa diantaranya merupakan orang-orang hasil tangkapan Satpol PP, dan ada juga yang diserahkan ke Liponsos oleh keluarganya sendiri. Berada di Liponsos membuat mereka terisolasi dari dunia luar. Tidak ada banyak hal yang bisa mereka lakukan, atau lebih tepatnya tidak banyak tenaga kerja dan kegiatan yang disediakan oleh Liponsos. Maka, dimulai sejak tahun 2012, Liponsos memutuskan untuk membuat kegiatan rutin yang bisa menstimulus kerja otak penghuni dengan membuat kelas kerajinan tangan.

Salah satu penguhni Liponsos sedang menyelesaikan kesetnya.

                Kelas kerajinan tangan ini dipimpin oleh Wiwit Manfaati dan suaminya Supardi. Selama empat tahun mereka menjadi pengajar kerajinan tangan khusus untuk penghuni Liponsos. Kelas ini diadakan lima kali dalam seminggu. Biasanya, kelas berlangsung selama kurang lebih dua jam lamanya.

                “Dulu sebelum saya sudah ada satu tahun (kelas kerajinan tangan berjalan), tapi seminggu cuma dua kali dan hasilnya nggak maksimal. Kalau sekarang garapannya sudah lumayan, sudah agak maksimal, lebih rapi, kalau dulu masih belum diarahkan dengan baik. Misalnya dari segi warna, itu asal dicampur-campur saja. Sulaman juga belum rata. Anak-anak ini, kan, tidak seperti orang normal, kalau pingin warna apa, ya sudah warna semaunya dia pakai,” terang Wiwit.

Wiwit Manfaati, pengajar kerajinan tangan di Liponsos Keputih, Surabaya selama empat tahun.


                Mengajar kerajinan tangan kepada orang-orang yang memiliki gangguan jiwa tentu berbeda dengan mengajar orang-orang biasa. Wiwit pun mengisahkan kesulitannya ketika ia baru memulai menjadi pengajar di Liponsos.

“Awalnya saya juga kesulitan megang mereka, dulu saya biarkan mereka semaunya sendiri. Susah, tidak mau diberitahu, marah-marah sendiri. Nah, begitu mereka tahu kalau pembeli mesti beli yang warnanya bagus, mereka tahu ‘oh itu punya saya yang kemarin bu yang dibeli!’ akhirnya dia tahu sendiri kombinasi warna yang bagus, garapannya bagus. Akhirnya mau diarahkan. Kalau menurut saya jelek ya dia mau membongkar dan memulai dari awal,” jelas Wiwit.

Wanita yang senang membuat kerajinan tangan sejak kecil ini menyadari potensi dari hasil-hasil karya penghuni Liponsos. Tidak hanya membuat keset, ia juga mengajari mereka menyulam, menjahit, hingga membuat bunga dari kulit bawang putih, bros, mukenah, hiasan kulkas, dan lain-lain. Hasilnya pun cukup memuaskan.

“Hasil karya ini biasanya dititipikan di sentra-sentra UKM Surabaya, seperti di Siola, CITO, macam-macam. Kalau saya lagi pameran juga biasanya saya bawa, misalnya seperti roadshow Pahlawan Ekonomi, itu saya pamerkan di sana. Banyak yang beli. Pengunjung yang datang ke Liponsos ini juga suka membeli kerajinan ini. Sering ada yang memborong sampai habis,” katanya bangga.




Beberapa contoh hasil karya wanita-wanita penghuni Liponsos. Gambar pertama merupakan mukenah berbahan dasar katun Jepang. Kemudian gambar kedua adalah hiasan-hiasan perabot rumah seperti kulkas, meja, dll. Gambar ketiga adalah rupa-rupa keset karya mereka, dan gambar terakhir adalah kerajinan bunga dari kulit bawang putih.


Harga yang ditawarkan memang cukup terjangkau dan dibarengi dengan kualitas serta visual yang apik. Ia menjual mulai dari harga 500 rupiah untuk bros, dan paling mahal 200 ribu rupiah untuk mukenah yang menggunakan bahan katun Jepang. Hasil penjualan tersebut disimpan, dan seringkali digunakan untuk rekreasi dan makan-makan bersama.

“Uangnya untuk dua bulan sekali rekreasi. Kita ajak main ke taman-taman kota, seperti Taman Bungkul, Kebun Bibit, KBS, Mangrove, dan lain-lain. Satu bulan sekali kita ada acara makan-makan bersama. Makan-makannya ya macam-macam, bisa pesan-antar makanan fast food, rujak, gado-gado, bebek, lontong balap, es krim, es degan, macam-macam. Lalu satu minggu atau dua minggu sekali kita beli kue. Intinya uang dari anak-anak, kita gunakan untuk anak-anak,” tuturnya.

Selama empat tahun ini, Wiwit merasakan banyak sekali pengalaman aneh, lucu, hingga yang menakutkan. Semua pengalaman tersebut menjadi kenangan tersendiri baginya, dan ia sudah tahu cara mengatasinya.

“Kalau mereka lagi kumat itu ya, ditanya nggak menjawab, marah-marah, sempat melempar gunting sampai mengenai orang lain. Terus kadang kalau diajak rekreasi gitu ada yang hilang. Kalau waktu rekreasi mengawasi anak segini banyak, kan, susah, jadi ya sering hilang satu, hilang dua. Tapi ya nanti pasti kembali lagi. Paling lama itu hilang sebulan tapi kembali lagi, namanya Erika. Hilang di Kebun Bibit Wonorejo waktu itu. Kalau Hermin hilang dua kali, yang pertama di Kebun Bibit Bratang, lalu di Kebun Bibit Wonorejo. Tapi ya terus mbalik,” ujarnya sambil tertawa.

Wiwit memiliki harapan agar apa yang ia ajarkan bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi para penghuni, baik selama mereka berada di dalam Liponsos, maupun ketika sudah di luar. Namun, ia merasa bahwa selama ini manfaat yang ia berikan hanya bersifat sementara, karena para wanita didikannya tidak diberikan tempat tinggal terpisah agar mereka bisa melanjutkan karya mereka.

“Anak-anak ini kan (tinggalnya) satu barak, antara yang level seperempat gilanya sampai yang level seratus persen gila. Saya pinginnya anak-anak yang sudah ikut kelas keterampilan ini dipisah sendiri. Rata-rata anak-anak yang ikut keterampilan ini bajunya dicuci sendiri, ditaruh di kardus, disisihkan sendiri, bisa minta ke pendamping untuk sabunnya. Tapi karena mereka jadi satu ini, jadi mereka-mereka yang sudah terstimulus otak kirinya ini untuk pengembangan mentalnya ini, kembali ke barak bertemu dengan teman-temannya yang parah-parah, ya mbalik lagi. Kan kelas kerajinan tangan ini hanya dua jam sehari. Lebih lama waktu mereka untuk bengong di barak,” jelas wanita berkerudung ini.

Wiwit berharap baik Pemerintah Kota maupun masyarakat agar memahami kondisi penghuni Liponsos, dan memahami potensi mereka yang susah mencapai tingkat maksimal karena lingkungannya.

“Akan baik sekali kalau harapan itu bisa terwujud. Karena mereka-mereka ini berpotensi menuju normal, dan memiliki keterampilan lebih.” Tutupnya.

Tuesday, October 25, 2016

Radio Pertanian Wonocolo: Siaran Langsung Wayang, Cari Jodoh, Hingga Mempertemukan Orang yang Terpisah Puluhan Tahun

Untung Surojo, penyiar radio komunitas Radio Pertanian Wonocolo selama hampir 23 tahun.

                Radio Komunitas memang nyaris punah. Beberapa diantaranya gulung tikar, berubah menjadi radio swasta, atau merombak drastis konten yang ditampilkan demi menuruti yang lebih digandrungi. Orisinalitas Radio Komunitas kian dipertanyakan, dan semakin langka yang tetap mempertahankan tujuan awal mereka. Fase hidup Radio Komunitas memang tak selanggeng radio swasta yang mendapat suntikan dana dari sana-sini. Hal itulah yang membuat jumlah Radio Komunitas terus menyusut.

           Salah satu Radio Komunitas yang masih kukuh dengan program-program lama mereka adalah Radio Pertanian Wonocolo. Radio yang bisa ditemukan di saluran AM 1449 KHz ini merupakan salah satu Radio Komunitas yang sangat tua, didirikan pada 16 Juli 1969. Radio ini dibangun atas ide dari Gubernur Jawa Timur kala itu, yaitu Mohammad Noer.

“Waktu itu pemerintah Orde Baru kan menggalakkan REPELITA, nah di tahapan 5 tahun itu, Jawa Timur menggalakkan sektor pertanian. Dulu kita masih menjadi seksi publikasi kantor pertanian,” kata Untung Surojo, ketua dari Radio Pertanian Wonocolo.

Untung Surojo telah menjadi penyiar di Radio Pertanian Wonocolo selama hampir 23 tahun lamanya. Ia juga sempat menjabat sebagai ketua Jaringan Radio Komunitas (JRK) Jawa Timur selama tiga tahun. Kecintaannya terhadap radio sudah ia rasakan sejak kecil. Rasa cinta inilah yang membuatnya ingin terus melestarikan Radio Komunitas dan konten yang dibawakan.

“Konten kami hampir sama. Saya mempertahankan itu. Yang berbeda hanya sekarang kami menyisipkan konten untuk anak muda, tetapi itu tidak banyak. Jadi ketika jeda segmen, kita sisipkan artikel tentang bahaya narkoba, kenakalan remaja, keamanan, misalnya. Jadi lebih ke hal umum, bukan pertanian. Kemudian tiap jeda juga kita sisipkan misalnya peringatan-peringatan musibah banjir, tanah longsor, seperti itu. Dulu nggak kepikiran (membuat segmen) seperti itu,” tutur Untung.

Untung saat siaran. Saat ini, ia masih aktif siaran mulai dari siang hingga malam hari.

Teknis-teknis siaran juga berubah. Dulu mereka lebih sering memutar rekaman siaran, sedangkan saat ini lebih banyak siaran langsung. Perubahan gelombang juga mereka rasakan. Jika dulu menggunakan gelombang SW (gelombang pendek), saat ini menggunakan AM. Lalu, siaran yang dulunya hanya 6-7 jam, saat ini dilakukan selama 24 jam. Tetapi, selain itu semua, tidak ada perubahan yang berarti pada program siaran.

“(Untuk siaran) bangun tidur itu (memainkan) gendhing, kan kesenangannya petani. Lalu jam 08.00 pagi ada segmen Bingkisan Untuk Ibu-ibu. Jadi artikel masak, perawatan wajah, merawat anak, seputar itu. Lalu agak siang menuju hiburan, ada lagu-lagu campursari. Lalu ada obrolan dengan tokoh masyarakat di jam 13.00 siang. Berikutnya ada hiburan tapi bentuknya sentilan, jadi kritik sosial, mengkritik kebijaksanaan pemerintah, gitu-gitu. Durasinya cukup lama, jam 14.00-16.00 sore. Saya sendiri yang menjalankan segmen ini. Kalau malam, waktunya berinteraksi dengan petani. Kalau dulu kan tidak ada SMS, jadi judul programnya Menjawab Surat Petani. Sekarang lewat SMS atau telpon langsung. Jadi ada segmen on air interaktif dengan petani. Selain itu, sampai sekarang saya mutar wayang seminggu dua kali, yaitu hari Kamis dan Sabtu. Kita memutar rekaman lama. Tapi diluar hari itu misalnya ada yang nanggap wayang lalu minta kita siaran langsung, ya kita siaran. Kemudian seperti Tembang Macapat, itu sudah langka, tapi kita masih menayangkan,” jelas Untung.

Ruang siaran Radio Pertanian Wonocolo. Kantor radio ini berada di Jl. Ahmad Yani No. 156 Surabaya.

Konsistensi Radio Pertanian Wonocolo ini berbuah penghargaan. Mereka berhasil menyabet LPJ Award yang diberikan oleh Keraton Jogjakarta dengan titel radio pelestari budaya. Konten-konten yang disajikan radio ini juga menjadi obat rindu bagi orang-orang di Indonesia sendiri, maupun luar negeri. Ini dikarenakan radio mereka memiliki website untuk streaming, sehingga siaran mereka bisa didengarkan dimanapun, kapanpun, oleh siapapun.

“Jadi pendengar kita nggak hanya orang Indonesia, tapi juga orang-orang luar negeri. Kita tau dari SMS-SMS yang kita terima. Musik yang kita putar di sini kan mereka jarang dengar, jadi mereka senang mendengarkan. Ada dari Amerika, Kuwait, Belanda, Jepang, ada orang Indonesia yang tinggal di sana, ada juga ya orang asli sana yang mendengarkan,” ujarnya.

Menjadi sesepuh  di dunia radio tentu membuat Untung memiliki banyak sekali pengalaman-pengalaman istimewa, dan berinteraksi dengan pendengar lewat cara-cara yang unik juga.

“Tiap satu bulan sekali kita mengumpulkan penggemar di minggu ke dua. Biasanya sekitar 200an orang yang datang. Itu kita diskusi macem-macem. Ada nyanyi-nyanyinya juga. Nah lewat acara itu, saya bisa mempertemukan orang sudah berpisah puluhan tahun. Jadi dulu mereka tinggal satu desa, masih satu keluarga. Kan kita tiap kali ada pertemuan dengan penggemar kita umumkan di radio. Akhirnya ya bertemu di radio ini,” kenangnya sembari tertawa.

Tidak berhenti sampai disitu, Untung juga mempertemukan jodoh antar pendengar yang berasal dari kota-kota yang berjauhan, namun menyatu karena menjadi pendengar setia radio ini. Untung sendiri mengaku kewalahan jika harus menghitung berapa banyak jumlah pasangan yang telah ia jodohkan.

“Banyak yang sampai nikah. Nah, itu juga saya pertahankan, jadi saya mengadakan ruwatan masal untuk menampung orang-orang yang kesulitan jodoh. Jadi itu ritual, kita siarkan langsung. Kita adakan di gedung. Yang ikut ratusan orang. Itu tradisi Jawa. Tapi kemudian berkembang bisa ada orang usaha ingin laris, ikut ruwatan. Itu sampai 17 kali saya melakukan ruwatan. Di acara wayang-wayang itu juga sering tiba-tiba ada yang curhat soal keluarga, misalnya. Lalu diselesaikan bersama,” kata Untung.

Saat ini, penyiar tetap Radio Pertanian Wonocolo hanya tinggal tiga orang. Tetapi, ada 12 penyiar lain yang memang hobi siaran dan membantu secara sukarela. Agar radio ini tetap berjalan, mereka harus memutar otak, karena jelas tidak boleh memasang iklan. Maka, untuk memenuhi kebutuhan, mereka membuka usaha warung, dan menayangkan iklan layanan masyarakat dari produk tertentu. Radio Komunitas ini memiliki jasa besar, terutama bagi para petani di masanya. Semoga Radio Pertanian Wonocolo bisa tetap mempertahankan, bahkan mengembangkan diri mereka, agar bisa tetap hidup meski bergumul dalam huru-hara radio swasta.

Sunday, October 16, 2016

Menebar Asa di Sekolah Terbuka SMP Negeri 19 Surabaya

       Pendidikan memang seharusnya tidak menjadi barang mewah. Di tengah hiruk-pikuk kegalauan biaya pendidikan, Pemerintah Kota Surabaya sepenuh hati berusaha memangkas –bahkan menggratiskan – biaya pendidikan bagi anak-anak Surabaya. Bila sejak tahun 1979 Pemkot berkomitmen menyekolahkan anak-anak yang kurang mampu lewat Sekolah Terbuka, Pemkot juga membebaskan murid-murid SMA Negeri dari biaya sekolah per tahun 2011 demi merealisasikan program SPP gratis 12 tahun. Dan di tahun 2016 ini, Pemkot mulai menjajal ranah kampus negeri dan lembaga pelatihan untuk memberikan beasiswa bagi anak-anak Surabaya yang berprestasi dan kurang mampu. Beasiswa perkuliahan ini ditujukan baik untuk sarjana maupun diploma, sedangkan jurusan yang dituju adalah kedokteran, S2 kenotariatan, serta pramugari dan pramugara.

Murid-murid Sekolah Terbuka SMPN 19 Surabaya

          Pendidikan merupakan inti terpenting bagi kemajuan suatu negara. Apalagi, jika pendidikan yang ditawarkan tak hanya mengenai akademik dan rentetan standar nilai saja, tetapi juga moral dan keterampilan lainnya. Pendidikan semacam itu bisa didapat secara cuma-cuma di Sekolah Terbuka. Salah satu sekolah yang sudah 17 tahun menyandang status tersebut adalah SMP Negeri 19 Surabaya. Ia sekaligus menjadi induk bagi Sekolah-Sekolah Terbuka lainnya.

         “Sekolah Terbuka adalah program pemerintah, khususnya untuk anak-anak bangsa yang kebetulan kurang akses ke sekolah. Jadi misalnya kesulitan dana, waktu, sarana prasarana, dan lain-lain. Itu pemerintah memfasilitasi lewat Sekolah Terbuka itu. Memang tersebar di seluruh Indonesia. Kemudian, SMPN 19 Surabaya ditunjuk oleh pemerintah kota sebagai pembina,” jelas Erna Dwi Nastiti, koordinator Sekolah Terbuka SMP Negeri 19 Surabaya selama lima tahun ini.

Erna Dwi Nastiti, koordinator Sekolah Terbuka SMPN 19 Surabaya.

             Murid-murid Sekolah Terbuka di SMP Negeri 19 Surabaya ini cukup banyak dengan total delapan kelas. Masing-masing kelas diisi oleh sekitar 20 siswa. Tidak ada perbedaan antara fasilitas yang digunakan oleh murid Sekolah Terbuka dengan murid reguler. Yang membedakan hanyalah murid Sekolah Terbuka memulai jam pelajaran pada jam 14.00 siang setelah murid reguler selesai, dan berakhir sekitar pukul 17.00 sore.

             “Karena outputnya adalah siswa-siswa Sekolah Terbuka juga harus ikut UNAS, jadi untuk materi pelajaran sama persis dengan reguler. Pengajarnya juga sama. Kurikulumnya sama persis, tapi dalam proses belajar mengajar beda, karena ada keterbatasan waktu. Misalnya reguler pelajaran Bahasa Inggris 4-5 jam, kalau sekolah terbuka hanya 2 jam,” tuturnya.

            Jam belajar ini ditentukan agar anak-anak yang sekolah sambil bekerja bisa menyesuaikan waktu mereka. Sebisa mungkin waktu untuk sekolah tidak membebani mereka dalam menjalani kesehariannya. Selain waktu yang dipermudah, Sekolah Terbuka juga memberikan peralatan sekolah secara gratis.

            “Untuk biaya sekolahnya gratis. Kemudian topi, seragam, dasi, tas, sepatu, dan lain-lain juga gratis. Untuk buku bisa meminjam di perpustakaan sekolah. Semuanya diberikan bantuan oleh Pemkot, jadi anak-anak tinggal sekolah saja. Sekolah tidak boleh mengambil satu rupiah pun dari bantuan tersebut,” terang guru Bimbingan Konseling dan Life Skill ini.

           Untuk menjadi siswa dari Sekolah Terbuka, tidak terlalu banyak syarat yang diajukan dan tanpa seleksi. Kriteria yang disebutkan oleh Erna adalah cukup melihat dari ekonomi orang tua dan memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan. Siswa cukup membawa SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu), Kartu Keluarga, akte kelahiran, dan ijazah atau SKHUN.

            “Ada juga keluarga yang kurang beruntung, kemudian ada keinginan untuk sekolah tapi tidak keterima negeri, misalnya. Dan mau masuk sekolah swasta tidak kuat menanggung biayanya. Jadi larinya ke SMP terbuka,” katanya.

           Siti Maesaroh, siswi kelas 2 di Sekolah Terbuka SMP Negeri 19 Surabaya ini mengaku sangat senang dengan adanya sekolah gratis. Ayah Siti bekerja sebagai kuli bangunan, sedangkan Ibunya sebagai ibu rumah tangga. Apabila menyekolahkan anak dengan biaya pada umumnya, tentu akan terasa berat bagi mereka.

            “Soalnya ini semua itu gratis. Jadi nggak terlalu membebani orang tua. Senang banget sekolah di sini,” jelas gadis pecinta pelajaran Bahasa Indonesia tersebut.

Siti Maesaroh, siswi Sekolah Terbuka.


                Selain pelajaran biasa, Siti juga senang dengan pelajaran life skill yang diajarkan oleh Erna. “Bu Erna sering mengajari kita untuk berjualan, jadi kita ya ada acara khusus berjualan di sekolah. Aku sendiri pengen banget punya bisnis. Cita-citaku ingin jadi orang sukses, jadi manajer perusahaan hijab,” ujarnya sambil tersenyum.

          Dengan keterbatasan ekonomi yang membelit para orang tua, tak sedikit anak yang terpengaruh oleh kondisi tersebut. Erna pun mengakui beberapa orang tua ada yang mendukung anaknya untuk bersekolah, tetapi ada juga yang kurang mendukung. Hal ini akhirnya berdampak pada perilaku anak-anak di sekolah.

        “Ya, mungkin ini pengaruh dari keluarga. Orang tua yang kurang mendukung ya sekolah terserah, enggak ya terserah. Tapi juga banyak yang mendukung. Anak-anak yang dapat dukungan dari orang tua inilah yang sekolahnya bisa bagus. Nah yang tidak, ini juga ekstra, kami sebagai pendidik harus telaten momong mereka supaya mereka punya kemauan untuk belajar. Saya selalu memotivasi anak-anak, ‘kalian harus sekolah yang rajin, yang pinter, yang baik, karena apa? Ini lho kamu tinggal duduk manis, belajar, kalian bisa sukses. Semuanya sudah disediakan oleh pemkot,’. Ini adalah amanah kita semua. Siapa lagi yang akan menggendong anak-anak ini kalau bukan kita?” kata Erna.

         Banyak anak-anak Sekolah Terbuka yang telah merasakan manfaat dari pendidikan. Mereka berhasil melanjutkan pendidikan di SMA Negeri, SMK, maupun swasta. SMA Negeri terfavorit pun tak luput dari mereka. Memang akan selalu ada anak-anak berprestasi yang terhalang oleh kondisi ekonomi. Sangat disayangkan, jika anak-anak dengan otak cemerlang ini harus menghentikan usaha meraih cita-cita mereka. Maka, tugas negara lah sebagai pengayom masyarakat untuk sekuat tenaga mengembalikan asa tersebut. Karena pada akhirnya, anak-anak terdidik inilah yang nantinya akan mengemban tanggung jawab sebagai pemimpin generasi selanjutnya.

Saturday, October 15, 2016

Budaya Arek: Berani Tanpa "Mbendol Mburi"

Adrian Perkasa S. Hub. Int., S. Hum., M. A., Dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga


Rek ayo rek mlaku mlaku nang Tunjungan
Rek ayo rek rame rame bebarengan
Cak ayo cak sopo gelem melu aku
Cak ayo cak dolek kenalan cah ayu

           
       Sepenggal lirik dari lagu khas Surabaya ”Rek Ayo Rek” tersebut tentu sangat familiar di telinga kita. Panggilan “Rek” yang berasal dari kata “Arek” sendiri merupakan cara orang-orang di Jawa Timur untuk memanggil satu sama lain dan terasa lebih akrab. Ditambah dengan panggilan “Cak” yang ditujukan untuk laki-laki, dalam lirik ini digambarkan seakan mereka diajak untuk mencari kenalan perempuan cantik, semakin menunjukkan adanya sisi egaliter, tanpa kasta, yang secara bebas mengekspresikan diri ala Arek.

     Kebudayaan Arek sendiri dijelaskan oleh Adrian Perkasa, dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga sebagai budaya yang “sama rata, sama rasa”. Arek sebelumnya tidak mengenal tingkatan-tingkatan dalam berbahasa maupun bermasyarakat, hingga akhirnya budaya Mataraman memasuki Surabaya.

        “Arek sendiri berasal dari kata “Lare” yang berarti “anak”. Kenapa kok jadi Arek, (itu) ada kaitannya sama sejarah Jawa pasca Majapahit runtuh,” tutur Adrian.


Menurutnya, saat ini tidak banyak yang tahu bahwa dulu Surabaya adalah kerajaan yang sangat besar, bernama Kerajaan Surabaya. Kerajaan ini merupakan kerajaan pesisir yang sangat berkuasa dan memiliki kekuatan maritim yang besar. Kala itu, Kerajaan Surabaya memiliki pengaruh hingga ke Kalimantan seperti Sukadana dan Sambas.


“Kita sepakat kalau Surabaya ini kekuatan maritimnya sangat besar. Jadi waktu itu, jalur transportasi air kita sangat ramai, dan perahu-perahu banyak menepi di Kali Mas,” jelas mantan Cak Surabaya tahun 2005 ini.

Di tahun 1527, Surabaya maju pesat. Bahkan, ia dijadikan sebagai pelabuhan utama oleh Kerajaan Majapahit. Hingga akhirnya, ketika Kerajaan Majapahit runtuh di tahun 1389, Kerajaan Mataram Islam berkembang pesat dan memaksa Surabaya untuk tunduk dengan embel-embel ­keturunan Majapahit.

“Tetapi, tentu tidak mudah dalam menundukkan Surabaya, Madura, dan lainnya. Kerajaan-kerajaan ini menolak karena merasa mereka lebih maju, lebih pintar,” terangnya.

Surabaya dengan karakternya yang gigih dan pantang menyerah membuat Mataram Islam kewalahan. Namun, mereka tidak kehabisan akal. Mataram Islam memblokade Kali Mas dan menyebabkan surutnya air, penyakit yang merajalela, hingga menyebabkan tingkat kematian penduduk Surabaya mencapai jumlah yang mengkhawatirkan. Saat itu, penduduk Surabaya yang berjumlah 30.000an, menyusut menjadi hanya belasan ribu.

          “Akhirnya, raja dari Kerajaan Surabaya memerintahkan untuk mundur, daripada kondisi masyarakat semakin hancur. Sultan Agung pun berhasil menundukkan Surabaya di tahun 1625 sekaligus mengakhiri era Kerajaan Surabaya,” jelas laki-laki berkacamata ini.

           Kekalahan yang pedih ini memunculkan dendam membara yang tidak pernah mati bagi Arek. Dendam ini pun diwujudkan dengan sikap Arek yang tidak mau mengikuti tata bahasa Mataraman yang memang jauh berbeda. Mataraman menggunakan bahasa-bahasa krama inggil yang halus dan kaku.

            “Arek itu terkenal tidak ada krama inggil. Ada bahasa yang halus tapi hanya untuk raja, dan tidak sekaku itu. Bahasa ini masih dipakai terus hingga sekarang, dan Arek tidak mau memakai bahasa Mataraman yang sangat halus itu,” katanya.

       Karakter Arek pun akhirnya berbeda dengan Mataraman. Arek biasa bicara apa adanya atau blak-blakan, menyebabkan kampung-kampung di Surabaya saat ini jarang ada konflik karena sifat terbuka tersebut. Berbeda dengan Mataraman yang memendam perasaan tetapi mbendol mburi. Artinya, Arek lebih memiliki keberanian untuk mengungkapkan pemikirannya tanpa terhalang oleh status apapun, sedangkan Mataraman memilih untuk mendendam dan membicarakan dibelakang.

      “Nah, kita kan akhirnya nggak memakai (hiasan kepala) yang mbendol mburi (blangkon), tapi kita pakai yang model udeng karena kita campuran dari berbagai budaya. Surabaya itu jawa campuran. Akhirnya  gaya kesenian kita juga beda,” jelasnya.

        Kesenian yang paling mencerminkan kebudayaan Arek menurut Adrian adalah ludruk. Ludruk menampilkan drama yang lebih merakyat, dibandingkan dengan Mataraman yang keseniannya lebih menggambarkan kehidupan istana, atau kehidupan orang-orang dengan kasta yang tinggi. Bagi Adrian, karakter dan kebudayaan Arek Surabaya ini harus dipertahakan, karena ia merupakan ciri utama dari Surabaya.

“Mungkin orang luar lihat kita kasar, tapi kita merasa nyaman didalamnya, karena kita biasa apa adanya.” Ujarnya.