Saturday, October 15, 2016

Budaya Arek: Berani Tanpa "Mbendol Mburi"

Adrian Perkasa S. Hub. Int., S. Hum., M. A., Dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga


Rek ayo rek mlaku mlaku nang Tunjungan
Rek ayo rek rame rame bebarengan
Cak ayo cak sopo gelem melu aku
Cak ayo cak dolek kenalan cah ayu

           
       Sepenggal lirik dari lagu khas Surabaya ”Rek Ayo Rek” tersebut tentu sangat familiar di telinga kita. Panggilan “Rek” yang berasal dari kata “Arek” sendiri merupakan cara orang-orang di Jawa Timur untuk memanggil satu sama lain dan terasa lebih akrab. Ditambah dengan panggilan “Cak” yang ditujukan untuk laki-laki, dalam lirik ini digambarkan seakan mereka diajak untuk mencari kenalan perempuan cantik, semakin menunjukkan adanya sisi egaliter, tanpa kasta, yang secara bebas mengekspresikan diri ala Arek.

     Kebudayaan Arek sendiri dijelaskan oleh Adrian Perkasa, dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga sebagai budaya yang “sama rata, sama rasa”. Arek sebelumnya tidak mengenal tingkatan-tingkatan dalam berbahasa maupun bermasyarakat, hingga akhirnya budaya Mataraman memasuki Surabaya.

        “Arek sendiri berasal dari kata “Lare” yang berarti “anak”. Kenapa kok jadi Arek, (itu) ada kaitannya sama sejarah Jawa pasca Majapahit runtuh,” tutur Adrian.


Menurutnya, saat ini tidak banyak yang tahu bahwa dulu Surabaya adalah kerajaan yang sangat besar, bernama Kerajaan Surabaya. Kerajaan ini merupakan kerajaan pesisir yang sangat berkuasa dan memiliki kekuatan maritim yang besar. Kala itu, Kerajaan Surabaya memiliki pengaruh hingga ke Kalimantan seperti Sukadana dan Sambas.


“Kita sepakat kalau Surabaya ini kekuatan maritimnya sangat besar. Jadi waktu itu, jalur transportasi air kita sangat ramai, dan perahu-perahu banyak menepi di Kali Mas,” jelas mantan Cak Surabaya tahun 2005 ini.

Di tahun 1527, Surabaya maju pesat. Bahkan, ia dijadikan sebagai pelabuhan utama oleh Kerajaan Majapahit. Hingga akhirnya, ketika Kerajaan Majapahit runtuh di tahun 1389, Kerajaan Mataram Islam berkembang pesat dan memaksa Surabaya untuk tunduk dengan embel-embel ­keturunan Majapahit.

“Tetapi, tentu tidak mudah dalam menundukkan Surabaya, Madura, dan lainnya. Kerajaan-kerajaan ini menolak karena merasa mereka lebih maju, lebih pintar,” terangnya.

Surabaya dengan karakternya yang gigih dan pantang menyerah membuat Mataram Islam kewalahan. Namun, mereka tidak kehabisan akal. Mataram Islam memblokade Kali Mas dan menyebabkan surutnya air, penyakit yang merajalela, hingga menyebabkan tingkat kematian penduduk Surabaya mencapai jumlah yang mengkhawatirkan. Saat itu, penduduk Surabaya yang berjumlah 30.000an, menyusut menjadi hanya belasan ribu.

          “Akhirnya, raja dari Kerajaan Surabaya memerintahkan untuk mundur, daripada kondisi masyarakat semakin hancur. Sultan Agung pun berhasil menundukkan Surabaya di tahun 1625 sekaligus mengakhiri era Kerajaan Surabaya,” jelas laki-laki berkacamata ini.

           Kekalahan yang pedih ini memunculkan dendam membara yang tidak pernah mati bagi Arek. Dendam ini pun diwujudkan dengan sikap Arek yang tidak mau mengikuti tata bahasa Mataraman yang memang jauh berbeda. Mataraman menggunakan bahasa-bahasa krama inggil yang halus dan kaku.

            “Arek itu terkenal tidak ada krama inggil. Ada bahasa yang halus tapi hanya untuk raja, dan tidak sekaku itu. Bahasa ini masih dipakai terus hingga sekarang, dan Arek tidak mau memakai bahasa Mataraman yang sangat halus itu,” katanya.

       Karakter Arek pun akhirnya berbeda dengan Mataraman. Arek biasa bicara apa adanya atau blak-blakan, menyebabkan kampung-kampung di Surabaya saat ini jarang ada konflik karena sifat terbuka tersebut. Berbeda dengan Mataraman yang memendam perasaan tetapi mbendol mburi. Artinya, Arek lebih memiliki keberanian untuk mengungkapkan pemikirannya tanpa terhalang oleh status apapun, sedangkan Mataraman memilih untuk mendendam dan membicarakan dibelakang.

      “Nah, kita kan akhirnya nggak memakai (hiasan kepala) yang mbendol mburi (blangkon), tapi kita pakai yang model udeng karena kita campuran dari berbagai budaya. Surabaya itu jawa campuran. Akhirnya  gaya kesenian kita juga beda,” jelasnya.

        Kesenian yang paling mencerminkan kebudayaan Arek menurut Adrian adalah ludruk. Ludruk menampilkan drama yang lebih merakyat, dibandingkan dengan Mataraman yang keseniannya lebih menggambarkan kehidupan istana, atau kehidupan orang-orang dengan kasta yang tinggi. Bagi Adrian, karakter dan kebudayaan Arek Surabaya ini harus dipertahakan, karena ia merupakan ciri utama dari Surabaya.

“Mungkin orang luar lihat kita kasar, tapi kita merasa nyaman didalamnya, karena kita biasa apa adanya.” Ujarnya.

No comments:

Post a Comment