Rek ayo rek mlaku mlaku nang Tunjungan
Rek ayo rek rame rame bebarengan
Cak ayo cak sopo gelem melu aku
Cak ayo cak dolek kenalan cah ayu
Sepenggal lirik dari lagu khas
Surabaya ”Rek Ayo Rek” tersebut tentu
sangat familiar di telinga kita. Panggilan “Rek”
yang berasal dari kata “Arek” sendiri
merupakan cara orang-orang di Jawa Timur untuk memanggil satu sama lain dan
terasa lebih akrab. Ditambah dengan panggilan “Cak” yang ditujukan untuk laki-laki, dalam lirik ini digambarkan
seakan mereka diajak untuk mencari kenalan
perempuan cantik, semakin menunjukkan adanya sisi egaliter, tanpa kasta,
yang secara bebas mengekspresikan diri ala Arek.
Kebudayaan
Arek sendiri dijelaskan oleh Adrian Perkasa, dosen Ilmu Sejarah Universitas
Airlangga sebagai budaya yang “sama rata, sama rasa”. Arek sebelumnya tidak mengenal tingkatan-tingkatan dalam berbahasa
maupun bermasyarakat, hingga akhirnya budaya Mataraman memasuki Surabaya.
“Arek
sendiri berasal dari kata “Lare” yang
berarti “anak”. Kenapa kok jadi Arek,
(itu) ada kaitannya sama sejarah Jawa pasca Majapahit runtuh,” tutur Adrian.
Menurutnya, saat ini tidak banyak yang tahu bahwa dulu
Surabaya adalah kerajaan yang sangat besar, bernama Kerajaan Surabaya. Kerajaan
ini merupakan kerajaan pesisir yang sangat berkuasa dan memiliki kekuatan
maritim yang besar. Kala itu, Kerajaan Surabaya memiliki pengaruh hingga ke
Kalimantan seperti Sukadana dan Sambas.
“Kita sepakat kalau Surabaya ini kekuatan maritimnya sangat
besar. Jadi waktu itu, jalur transportasi air kita sangat ramai, dan
perahu-perahu banyak menepi di Kali Mas,” jelas mantan Cak Surabaya tahun 2005
ini.
Di tahun 1527, Surabaya maju pesat. Bahkan, ia dijadikan
sebagai pelabuhan utama oleh Kerajaan Majapahit. Hingga akhirnya, ketika Kerajaan
Majapahit runtuh di tahun 1389, Kerajaan Mataram Islam berkembang pesat dan
memaksa Surabaya untuk tunduk dengan embel-embel
keturunan Majapahit.
“Tetapi, tentu tidak mudah dalam menundukkan Surabaya,
Madura, dan lainnya. Kerajaan-kerajaan ini menolak karena merasa mereka lebih maju,
lebih pintar,” terangnya.
Surabaya dengan karakternya yang gigih dan pantang menyerah
membuat Mataram Islam kewalahan. Namun, mereka tidak kehabisan akal. Mataram Islam
memblokade Kali Mas dan menyebabkan surutnya air, penyakit yang merajalela,
hingga menyebabkan tingkat kematian penduduk Surabaya mencapai jumlah yang
mengkhawatirkan. Saat itu, penduduk Surabaya yang berjumlah 30.000an, menyusut
menjadi hanya belasan ribu.
“Akhirnya, raja dari Kerajaan
Surabaya memerintahkan untuk mundur, daripada kondisi masyarakat semakin
hancur. Sultan Agung pun berhasil menundukkan Surabaya di tahun 1625 sekaligus
mengakhiri era Kerajaan Surabaya,” jelas laki-laki berkacamata ini.
Kekalahan yang pedih ini memunculkan
dendam membara yang tidak pernah mati bagi Arek. Dendam ini pun diwujudkan dengan
sikap Arek yang tidak mau mengikuti tata bahasa Mataraman yang memang jauh
berbeda. Mataraman menggunakan bahasa-bahasa krama inggil yang halus dan kaku.
“Arek itu terkenal tidak ada krama inggil. Ada bahasa yang halus tapi
hanya untuk raja, dan tidak sekaku itu. Bahasa ini masih dipakai terus hingga
sekarang, dan Arek tidak mau memakai bahasa Mataraman yang sangat halus itu,”
katanya.
Karakter Arek pun akhirnya berbeda
dengan Mataraman. Arek biasa bicara apa adanya atau blak-blakan, menyebabkan kampung-kampung di Surabaya saat ini
jarang ada konflik karena sifat terbuka tersebut. Berbeda dengan Mataraman yang
memendam perasaan tetapi mbendol mburi.
Artinya, Arek lebih memiliki keberanian untuk mengungkapkan pemikirannya tanpa
terhalang oleh status apapun, sedangkan Mataraman memilih untuk mendendam dan
membicarakan dibelakang.
“Nah, kita kan akhirnya nggak
memakai (hiasan kepala) yang mbendol
mburi (blangkon), tapi kita pakai yang model udeng karena kita campuran
dari berbagai budaya. Surabaya itu jawa campuran. Akhirnya gaya kesenian kita juga beda,” jelasnya.
Kesenian yang paling mencerminkan
kebudayaan Arek menurut Adrian adalah ludruk. Ludruk menampilkan drama yang
lebih merakyat, dibandingkan dengan Mataraman yang keseniannya lebih
menggambarkan kehidupan istana, atau kehidupan orang-orang dengan kasta yang
tinggi. Bagi Adrian, karakter dan kebudayaan Arek Surabaya ini harus
dipertahakan, karena ia merupakan ciri utama dari Surabaya.
“Mungkin orang luar lihat kita kasar, tapi kita merasa nyaman
didalamnya, karena kita biasa apa adanya.” Ujarnya.
No comments:
Post a Comment