Sunday, October 16, 2016

Menebar Asa di Sekolah Terbuka SMP Negeri 19 Surabaya

       Pendidikan memang seharusnya tidak menjadi barang mewah. Di tengah hiruk-pikuk kegalauan biaya pendidikan, Pemerintah Kota Surabaya sepenuh hati berusaha memangkas –bahkan menggratiskan – biaya pendidikan bagi anak-anak Surabaya. Bila sejak tahun 1979 Pemkot berkomitmen menyekolahkan anak-anak yang kurang mampu lewat Sekolah Terbuka, Pemkot juga membebaskan murid-murid SMA Negeri dari biaya sekolah per tahun 2011 demi merealisasikan program SPP gratis 12 tahun. Dan di tahun 2016 ini, Pemkot mulai menjajal ranah kampus negeri dan lembaga pelatihan untuk memberikan beasiswa bagi anak-anak Surabaya yang berprestasi dan kurang mampu. Beasiswa perkuliahan ini ditujukan baik untuk sarjana maupun diploma, sedangkan jurusan yang dituju adalah kedokteran, S2 kenotariatan, serta pramugari dan pramugara.

Murid-murid Sekolah Terbuka SMPN 19 Surabaya

          Pendidikan merupakan inti terpenting bagi kemajuan suatu negara. Apalagi, jika pendidikan yang ditawarkan tak hanya mengenai akademik dan rentetan standar nilai saja, tetapi juga moral dan keterampilan lainnya. Pendidikan semacam itu bisa didapat secara cuma-cuma di Sekolah Terbuka. Salah satu sekolah yang sudah 17 tahun menyandang status tersebut adalah SMP Negeri 19 Surabaya. Ia sekaligus menjadi induk bagi Sekolah-Sekolah Terbuka lainnya.

         “Sekolah Terbuka adalah program pemerintah, khususnya untuk anak-anak bangsa yang kebetulan kurang akses ke sekolah. Jadi misalnya kesulitan dana, waktu, sarana prasarana, dan lain-lain. Itu pemerintah memfasilitasi lewat Sekolah Terbuka itu. Memang tersebar di seluruh Indonesia. Kemudian, SMPN 19 Surabaya ditunjuk oleh pemerintah kota sebagai pembina,” jelas Erna Dwi Nastiti, koordinator Sekolah Terbuka SMP Negeri 19 Surabaya selama lima tahun ini.

Erna Dwi Nastiti, koordinator Sekolah Terbuka SMPN 19 Surabaya.

             Murid-murid Sekolah Terbuka di SMP Negeri 19 Surabaya ini cukup banyak dengan total delapan kelas. Masing-masing kelas diisi oleh sekitar 20 siswa. Tidak ada perbedaan antara fasilitas yang digunakan oleh murid Sekolah Terbuka dengan murid reguler. Yang membedakan hanyalah murid Sekolah Terbuka memulai jam pelajaran pada jam 14.00 siang setelah murid reguler selesai, dan berakhir sekitar pukul 17.00 sore.

             “Karena outputnya adalah siswa-siswa Sekolah Terbuka juga harus ikut UNAS, jadi untuk materi pelajaran sama persis dengan reguler. Pengajarnya juga sama. Kurikulumnya sama persis, tapi dalam proses belajar mengajar beda, karena ada keterbatasan waktu. Misalnya reguler pelajaran Bahasa Inggris 4-5 jam, kalau sekolah terbuka hanya 2 jam,” tuturnya.

            Jam belajar ini ditentukan agar anak-anak yang sekolah sambil bekerja bisa menyesuaikan waktu mereka. Sebisa mungkin waktu untuk sekolah tidak membebani mereka dalam menjalani kesehariannya. Selain waktu yang dipermudah, Sekolah Terbuka juga memberikan peralatan sekolah secara gratis.

            “Untuk biaya sekolahnya gratis. Kemudian topi, seragam, dasi, tas, sepatu, dan lain-lain juga gratis. Untuk buku bisa meminjam di perpustakaan sekolah. Semuanya diberikan bantuan oleh Pemkot, jadi anak-anak tinggal sekolah saja. Sekolah tidak boleh mengambil satu rupiah pun dari bantuan tersebut,” terang guru Bimbingan Konseling dan Life Skill ini.

           Untuk menjadi siswa dari Sekolah Terbuka, tidak terlalu banyak syarat yang diajukan dan tanpa seleksi. Kriteria yang disebutkan oleh Erna adalah cukup melihat dari ekonomi orang tua dan memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan. Siswa cukup membawa SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu), Kartu Keluarga, akte kelahiran, dan ijazah atau SKHUN.

            “Ada juga keluarga yang kurang beruntung, kemudian ada keinginan untuk sekolah tapi tidak keterima negeri, misalnya. Dan mau masuk sekolah swasta tidak kuat menanggung biayanya. Jadi larinya ke SMP terbuka,” katanya.

           Siti Maesaroh, siswi kelas 2 di Sekolah Terbuka SMP Negeri 19 Surabaya ini mengaku sangat senang dengan adanya sekolah gratis. Ayah Siti bekerja sebagai kuli bangunan, sedangkan Ibunya sebagai ibu rumah tangga. Apabila menyekolahkan anak dengan biaya pada umumnya, tentu akan terasa berat bagi mereka.

            “Soalnya ini semua itu gratis. Jadi nggak terlalu membebani orang tua. Senang banget sekolah di sini,” jelas gadis pecinta pelajaran Bahasa Indonesia tersebut.

Siti Maesaroh, siswi Sekolah Terbuka.


                Selain pelajaran biasa, Siti juga senang dengan pelajaran life skill yang diajarkan oleh Erna. “Bu Erna sering mengajari kita untuk berjualan, jadi kita ya ada acara khusus berjualan di sekolah. Aku sendiri pengen banget punya bisnis. Cita-citaku ingin jadi orang sukses, jadi manajer perusahaan hijab,” ujarnya sambil tersenyum.

          Dengan keterbatasan ekonomi yang membelit para orang tua, tak sedikit anak yang terpengaruh oleh kondisi tersebut. Erna pun mengakui beberapa orang tua ada yang mendukung anaknya untuk bersekolah, tetapi ada juga yang kurang mendukung. Hal ini akhirnya berdampak pada perilaku anak-anak di sekolah.

        “Ya, mungkin ini pengaruh dari keluarga. Orang tua yang kurang mendukung ya sekolah terserah, enggak ya terserah. Tapi juga banyak yang mendukung. Anak-anak yang dapat dukungan dari orang tua inilah yang sekolahnya bisa bagus. Nah yang tidak, ini juga ekstra, kami sebagai pendidik harus telaten momong mereka supaya mereka punya kemauan untuk belajar. Saya selalu memotivasi anak-anak, ‘kalian harus sekolah yang rajin, yang pinter, yang baik, karena apa? Ini lho kamu tinggal duduk manis, belajar, kalian bisa sukses. Semuanya sudah disediakan oleh pemkot,’. Ini adalah amanah kita semua. Siapa lagi yang akan menggendong anak-anak ini kalau bukan kita?” kata Erna.

         Banyak anak-anak Sekolah Terbuka yang telah merasakan manfaat dari pendidikan. Mereka berhasil melanjutkan pendidikan di SMA Negeri, SMK, maupun swasta. SMA Negeri terfavorit pun tak luput dari mereka. Memang akan selalu ada anak-anak berprestasi yang terhalang oleh kondisi ekonomi. Sangat disayangkan, jika anak-anak dengan otak cemerlang ini harus menghentikan usaha meraih cita-cita mereka. Maka, tugas negara lah sebagai pengayom masyarakat untuk sekuat tenaga mengembalikan asa tersebut. Karena pada akhirnya, anak-anak terdidik inilah yang nantinya akan mengemban tanggung jawab sebagai pemimpin generasi selanjutnya.

No comments:

Post a Comment