Edipet, pemusik dibalik riuh pertunjukan Srimulat, dulu hingga sekarang. |
Apa kabar
Srimulat? Banyolan “Hil yang mustahal!”,
“Mak bedunduk!” dan “Mak jegagik!” akrab sekali di mata dan
telinga kita pada tahun 1980-an hingga awal 2000-an. Tak hanya itu, gaya khas
yang dimiliki tiap pelawak juga menambah daya tarik Srimulat, seperti Tessy
dengan gaya keperempuanannya atau Gogon dengan rambut mohawk dan kumis uniknya. Gaya-gaya ikonik tersebut tak bisa lepas
dari benak kita. Memori tersebut selalu ada, walau samar-samar.
Tahun
1970-an memang merupakan masa-masa keemasan Srimulat, baik di dunia
pertelevisian maupun di luar. Berbagai sumber menyebutkan masa kejayaan
tersebut hanya berlangsung selama lima tahun, termasuk Edipet, pemusik Srimulat
yang sudah bergabung sejak tahun 1970-an sampai sekarang. Edipet merupakan
salah satu maestro dibalik kekhasan musik Srimulat. Ia merupakan pemusik serba
bisa, dan telah merasakan gegap gempita kesuksesan hingga kemerosotan Srimulat
di titik terbawah.
“Srimulat
berdiri di tahun 1953. Saya sendiri masuk di tahun 1970-an. Waktu itu
pelawaknya ada Marlena, Ribut Rawit, dan lainnya. Semuanya orang top-top.
Pemusik-pemusiknya juga tokoh terkenal semua,” kenang Edipet.
Srimulat
mulai menjajal televisi tanah air ketika televisi muncul di tahun 1978.
Sebelumnya, Srimulat menggelar pentas keliling di berbagai tempat maupun kota.
Edipet memiliki andil besar dalam memperkenalkan Srimulat ke dunia
pertelevisian, karena sebelum Srimulat masuk TV, Edipet menjadi langganan
pemusik untuk acara TV terlebih dahulu.
“Saya
bisa masuk siaran TV di Surabaya. Saya sering siaran band di Jogja dulu, terus
saya ke Surabaya masuk TV karena pemerintah tidak memperbolehkan TV ada hiburan
dulu. Karena saya sering masuk TV, Srimulat juga pengen masuk TV. Nah, saya ini
punya koneksi di departemen-departemen TV, akhirnya Srimulat bisa masuk TV
Surabaya. Di Jakarta juga akhirnya bisa masuk,” tutur pria berumur 84 tahun
ini.
Namun,
untuk bisa tampil di TV Jakarta bukan perkara mudah. Mereka harus mengalahkan
grup-grup lawak lain yang tak kalah hebat. Tetapi, masa tersebut ia kenang
sebagai masa-masa penuh kebahagiaan dan kaya pengalaman.
“Dulu
masa-masa ingin masuk TV itu Srimulat ketemu dengan saingan-saingan, seperti
Ribut Rawit, Lokaria Banyuwangi, itu banyak yang akhirnya ikut Srimulat.
Lokaria itu bagus sekali, salah satu saingan terberat waktu itu,” katanya.
Akhirnya di
tahun 1990-an, Srimulat masuk ke Indosiar dengan acara bertajuk “Srimulat”.
Puncak kejayaan Srimulat dirasakan di tahun-tahun ini. Mereka juga mulai
melebarkan sayap di beberapa kota lain selain Surabaya dan Jakarta, yakni
Semarang dan Solo. Edipet sendiri
mengakui adanya perbedaan jumlah penonton yang signifikan untuk Srimulat dulu
dan sekarang. Saat ini, Srimulat mampu menarik perhatian sekitar 400 penonton
untuk pertunjukannya yang diadakan satu bulan sekali di Gedung Srimulat,
belakang Hi-Tech Mall, Surabaya. Dulu, Srimulat ketika di Jakarta mampu
menggaet penonton dengan jumlah dua kali lipat, bahkan lebih, untuk pertunjukan
yang diadakan sekitar empat bulan sekali.
“Kemarin
terakhir perform ada sekitar 400 pengunjung. Kalau di Jakarta dulu enak sekali,
senang. Jalan untuk masuk ke kursi itu sampai diisi orang, saking ramainya.
Mungkin dulu bisa sampai 800-an penonton di Taman Ismail Marzuki (TIM) itu. Ini
kenangan paling menyenangkan. Sampai bintang-bintang kayak Roy Marten, Rano
Karno, itu semua pingin lihat pentasnya Srimulat. Kursi sudah habis gitu ya
orang-orang bilang ‘saya berdiri mau,’ termasuk bintang-bintang ini. Ini selama
lima tahun seperti ini,” cerita Edipet sambil tersenyum.
Menurutnya,
keberhasilan Srimulat adalah hasil dari lawakan yang masih berunsur Jawa,
tetapi tetap mengikuti perkembangan jaman. Serta keluwesan Srimulat sebagai
pertunjukan seni yang bisa dikolaborasikan dengan kesenian-kesenian lain.
“Guyonan
Srimulat ini mengikuti jaman. Kalau dulu sekali kan Mataraman. Srimulat ini
(terkenal) karena kita ini pertunjukan sandiwara nasional. Dimasuki ludruk
bisa, wayang orang bisa, macam-macam. Tambah ramai. Di Indonesia ini yang
sukses ya Srimulat, walaupun kenyataannya sekarang kayak gini, tapi masih
mending kita bisa main. Banyak grup-grup yang sudah mati,” ujar Edipet.
Pemain
Srimulat yang masih setia hingga sekarang adalah Bambang Gentolet dan ditemani
oleh pelawak-pelawak muda lainnya. Lawakan Srimulat juga mengalami perubahan.
“Cara
menyuguhkan juga lain. Dulu itu primadona (perempuan cantik) nggak boleh ngelawak, hanya sebagai Ibu, anak, atau istri. Yang melawak yang
laki-laki. Cewek hanya untuk
cantik-cantikan, kayak mbak Indri, mbak Vera. Guyonannya misalnya, ‘raine koyok ngono, tapi sikile meletek
meletek’,” katanya sambil tertawa.
Lima tahun masa keemasan Srimulat telah
berakhir. Namun, tidak menyurutkan kesenangan hati Edipet yang sudah sangat
cinta dengan Srimulat. Bergabung dengan Srimulat membawanya pada dunia musik
yang jauh lebih luas, termasuk dalam bermain saksofon. “Kalau di Amerika
namanya Kenny G, kalau di sini Kennedi,” kelakarnya. Selama itu, ia bertemu
dengan berbagai grup musik kawakan, namun ia tetap meneguhkan dirinya dalam
Srimulat. Ilmu-ilmu yang ia dapat juga akhirnya digunakan untuk mengembangkan
musik Srimulat.
“Senangnya
(bergabung dengan Srimulat) itu seperti punya pegangan jiwa. Wenak gitu, lho, nggak bisa terpengaruh. Sudah senang sekali di Srimulat, luar biasa
lah. Nggak bisa dibayangno.
Bersyukur,” ujarnya dengan senyum haru.
Puluhan tahun
menemani Srimulat, Edipet pun kehilangan banyak teman-teman di dunia lawak
maupun musik yang sudah tutup usia. Tetapi, Edipet tidak pernah berhenti
berharap untuk masa depan Srimulat yang lebih cerah.
“Sekarang
suasana sudah lain sekali. Dulu penonton gampang kalau mau ke gedung Srimulat
tinggal masuk di depan gedung, sekarang kan nggak
bisa, lha, nanti kalau ada ular jatuh
gimana,” candanya. Ia menuturkan akses masuk yang repot ini menjadi salah satu
faktor berkurangnya penonton Srimulat.
“Sekarang
pemusiknya juga sedang vakum, karena alat musiknya sudah jelek semua. Ya, saya
berharap, kalau Srimulat punya modal, kapan bisa main setiap hari, atau paling
tidak satu minggu itu tiga atau empat kali, terutama malam Jum’at, Minggu, dan
Senin. Mungkin Kamis juga. Itu harapan terbesar saya,” tuturnya.
No comments:
Post a Comment