Sunday, December 11, 2016

Banyolan Samar Srimulat

Edipet, pemusik dibalik riuh pertunjukan Srimulat, dulu hingga sekarang.

             Apa kabar Srimulat? Banyolan “Hil yang mustahal!”, “Mak bedunduk!” dan “Mak jegagik!” akrab sekali di mata dan telinga kita pada tahun 1980-an hingga awal 2000-an. Tak hanya itu, gaya khas yang dimiliki tiap pelawak juga menambah daya tarik Srimulat, seperti Tessy dengan gaya keperempuanannya atau Gogon dengan rambut mohawk dan kumis uniknya. Gaya-gaya ikonik tersebut tak bisa lepas dari benak kita. Memori tersebut selalu ada, walau samar-samar.

           Tahun 1970-an memang merupakan masa-masa keemasan Srimulat, baik di dunia pertelevisian maupun di luar. Berbagai sumber menyebutkan masa kejayaan tersebut hanya berlangsung selama lima tahun, termasuk Edipet, pemusik Srimulat yang sudah bergabung sejak tahun 1970-an sampai sekarang. Edipet merupakan salah satu maestro dibalik kekhasan musik Srimulat. Ia merupakan pemusik serba bisa, dan telah merasakan gegap gempita kesuksesan hingga kemerosotan Srimulat di titik terbawah.

          “Srimulat berdiri di tahun 1953. Saya sendiri masuk di tahun 1970-an. Waktu itu pelawaknya ada Marlena, Ribut Rawit, dan lainnya. Semuanya orang top-top. Pemusik-pemusiknya juga tokoh terkenal semua,” kenang Edipet.

          Srimulat mulai menjajal televisi tanah air ketika televisi muncul di tahun 1978. Sebelumnya, Srimulat menggelar pentas keliling di berbagai tempat maupun kota. Edipet memiliki andil besar dalam memperkenalkan Srimulat ke dunia pertelevisian, karena sebelum Srimulat masuk TV, Edipet menjadi langganan pemusik untuk acara TV terlebih dahulu.

           “Saya bisa masuk siaran TV di Surabaya. Saya sering siaran band di Jogja dulu, terus saya ke Surabaya masuk TV karena pemerintah tidak memperbolehkan TV ada hiburan dulu. Karena saya sering masuk TV, Srimulat juga pengen masuk TV. Nah, saya ini punya koneksi di departemen-departemen TV, akhirnya Srimulat bisa masuk TV Surabaya. Di Jakarta juga akhirnya bisa masuk,” tutur pria berumur 84 tahun ini.

                Namun, untuk bisa tampil di TV Jakarta bukan perkara mudah. Mereka harus mengalahkan grup-grup lawak lain yang tak kalah hebat. Tetapi, masa tersebut ia kenang sebagai masa-masa penuh kebahagiaan dan kaya pengalaman.

“Dulu masa-masa ingin masuk TV itu Srimulat ketemu dengan saingan-saingan, seperti Ribut Rawit, Lokaria Banyuwangi, itu banyak yang akhirnya ikut Srimulat. Lokaria itu bagus sekali, salah satu saingan terberat waktu itu,” katanya.

Akhirnya di tahun 1990-an, Srimulat masuk ke Indosiar dengan acara bertajuk “Srimulat”. Puncak kejayaan Srimulat dirasakan di tahun-tahun ini. Mereka juga mulai melebarkan sayap di beberapa kota lain selain Surabaya dan Jakarta, yakni Semarang dan Solo.  Edipet sendiri mengakui adanya perbedaan jumlah penonton yang signifikan untuk Srimulat dulu dan sekarang. Saat ini, Srimulat mampu menarik perhatian sekitar 400 penonton untuk pertunjukannya yang diadakan satu bulan sekali di Gedung Srimulat, belakang Hi-Tech Mall, Surabaya. Dulu, Srimulat ketika di Jakarta mampu menggaet penonton dengan jumlah dua kali lipat, bahkan lebih, untuk pertunjukan yang diadakan sekitar empat bulan sekali.

“Kemarin terakhir perform ada sekitar 400 pengunjung. Kalau di Jakarta dulu enak sekali, senang. Jalan untuk masuk ke kursi itu sampai diisi orang, saking ramainya. Mungkin dulu bisa sampai 800-an penonton di Taman Ismail Marzuki (TIM) itu. Ini kenangan paling menyenangkan. Sampai bintang-bintang kayak Roy Marten, Rano Karno, itu semua pingin lihat pentasnya Srimulat. Kursi sudah habis gitu ya orang-orang bilang ‘saya berdiri mau,’ termasuk bintang-bintang ini. Ini selama lima tahun seperti ini,” cerita Edipet sambil tersenyum.

Menurutnya, keberhasilan Srimulat adalah hasil dari lawakan yang masih berunsur Jawa, tetapi tetap mengikuti perkembangan jaman. Serta keluwesan Srimulat sebagai pertunjukan seni yang bisa dikolaborasikan dengan kesenian-kesenian lain.

“Guyonan Srimulat ini mengikuti jaman. Kalau dulu sekali kan Mataraman. Srimulat ini (terkenal) karena kita ini pertunjukan sandiwara nasional. Dimasuki ludruk bisa, wayang orang bisa, macam-macam. Tambah ramai. Di Indonesia ini yang sukses ya Srimulat, walaupun kenyataannya sekarang kayak gini, tapi masih mending kita bisa main. Banyak grup-grup yang sudah mati,” ujar Edipet.

Pemain Srimulat yang masih setia hingga sekarang adalah Bambang Gentolet dan ditemani oleh pelawak-pelawak muda lainnya. Lawakan Srimulat juga mengalami perubahan.

“Cara menyuguhkan juga lain. Dulu itu primadona (perempuan cantik) nggak boleh ngelawak, hanya sebagai Ibu, anak, atau istri. Yang melawak yang laki-laki. Cewek hanya untuk cantik-cantikan, kayak mbak Indri, mbak Vera. Guyonannya misalnya, ‘raine koyok ngono, tapi sikile meletek meletek’,” katanya sambil tertawa.

              Lima tahun masa keemasan Srimulat telah berakhir. Namun, tidak menyurutkan kesenangan hati Edipet yang sudah sangat cinta dengan Srimulat. Bergabung dengan Srimulat membawanya pada dunia musik yang jauh lebih luas, termasuk dalam bermain saksofon. “Kalau di Amerika namanya Kenny G, kalau di sini Kennedi,” kelakarnya. Selama itu, ia bertemu dengan berbagai grup musik kawakan, namun ia tetap meneguhkan dirinya dalam Srimulat. Ilmu-ilmu yang ia dapat juga akhirnya digunakan untuk mengembangkan musik Srimulat.

“Senangnya (bergabung dengan Srimulat) itu seperti punya pegangan jiwa. Wenak gitu, lho, nggak bisa terpengaruh. Sudah senang sekali di Srimulat, luar biasa lah. Nggak bisa dibayangno. Bersyukur,” ujarnya dengan senyum haru.

Puluhan tahun menemani Srimulat, Edipet pun kehilangan banyak teman-teman di dunia lawak maupun musik yang sudah tutup usia. Tetapi, Edipet tidak pernah berhenti berharap untuk masa depan Srimulat yang lebih cerah.

“Sekarang suasana sudah lain sekali. Dulu penonton gampang kalau mau ke gedung Srimulat tinggal masuk di depan gedung, sekarang kan nggak bisa, lha, nanti kalau ada ular jatuh gimana,” candanya. Ia menuturkan akses masuk yang repot ini menjadi salah satu faktor berkurangnya penonton Srimulat.

“Sekarang pemusiknya juga sedang vakum, karena alat musiknya sudah jelek semua. Ya, saya berharap, kalau Srimulat punya modal, kapan bisa main setiap hari, atau paling tidak satu minggu itu tiga atau empat kali, terutama malam Jum’at, Minggu, dan Senin. Mungkin Kamis juga. Itu harapan terbesar saya,” tuturnya.

No comments:

Post a Comment