Tuesday, November 22, 2016

Warna-Warni Karya Tangan Penghuni Liponsos Surabaya


                Belasan wanita terlihat sedang asyik menyambung-nyambungkan potongan kain dengan berbagai warna di atas karung tipis. Beberapa belum terlihat karya apa sebenarnya yang ingin ia tunjukkan, beberapa lainnya sudah menyelesaikan satu dan memulai selanjutnya. Siang itu di hari Rabu, 16 November 2016, para wanita yang memiliki gangguan jiwa ini dengan penuh ketelatenan menggarap keset berbahan dasar sisa kain kaos.

                Wanita-wanita ini adalah penghuni Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Keputih, Surabaya. Beberapa diantaranya merupakan orang-orang hasil tangkapan Satpol PP, dan ada juga yang diserahkan ke Liponsos oleh keluarganya sendiri. Berada di Liponsos membuat mereka terisolasi dari dunia luar. Tidak ada banyak hal yang bisa mereka lakukan, atau lebih tepatnya tidak banyak tenaga kerja dan kegiatan yang disediakan oleh Liponsos. Maka, dimulai sejak tahun 2012, Liponsos memutuskan untuk membuat kegiatan rutin yang bisa menstimulus kerja otak penghuni dengan membuat kelas kerajinan tangan.

Salah satu penguhni Liponsos sedang menyelesaikan kesetnya.

                Kelas kerajinan tangan ini dipimpin oleh Wiwit Manfaati dan suaminya Supardi. Selama empat tahun mereka menjadi pengajar kerajinan tangan khusus untuk penghuni Liponsos. Kelas ini diadakan lima kali dalam seminggu. Biasanya, kelas berlangsung selama kurang lebih dua jam lamanya.

                “Dulu sebelum saya sudah ada satu tahun (kelas kerajinan tangan berjalan), tapi seminggu cuma dua kali dan hasilnya nggak maksimal. Kalau sekarang garapannya sudah lumayan, sudah agak maksimal, lebih rapi, kalau dulu masih belum diarahkan dengan baik. Misalnya dari segi warna, itu asal dicampur-campur saja. Sulaman juga belum rata. Anak-anak ini, kan, tidak seperti orang normal, kalau pingin warna apa, ya sudah warna semaunya dia pakai,” terang Wiwit.

Wiwit Manfaati, pengajar kerajinan tangan di Liponsos Keputih, Surabaya selama empat tahun.


                Mengajar kerajinan tangan kepada orang-orang yang memiliki gangguan jiwa tentu berbeda dengan mengajar orang-orang biasa. Wiwit pun mengisahkan kesulitannya ketika ia baru memulai menjadi pengajar di Liponsos.

“Awalnya saya juga kesulitan megang mereka, dulu saya biarkan mereka semaunya sendiri. Susah, tidak mau diberitahu, marah-marah sendiri. Nah, begitu mereka tahu kalau pembeli mesti beli yang warnanya bagus, mereka tahu ‘oh itu punya saya yang kemarin bu yang dibeli!’ akhirnya dia tahu sendiri kombinasi warna yang bagus, garapannya bagus. Akhirnya mau diarahkan. Kalau menurut saya jelek ya dia mau membongkar dan memulai dari awal,” jelas Wiwit.

Wanita yang senang membuat kerajinan tangan sejak kecil ini menyadari potensi dari hasil-hasil karya penghuni Liponsos. Tidak hanya membuat keset, ia juga mengajari mereka menyulam, menjahit, hingga membuat bunga dari kulit bawang putih, bros, mukenah, hiasan kulkas, dan lain-lain. Hasilnya pun cukup memuaskan.

“Hasil karya ini biasanya dititipikan di sentra-sentra UKM Surabaya, seperti di Siola, CITO, macam-macam. Kalau saya lagi pameran juga biasanya saya bawa, misalnya seperti roadshow Pahlawan Ekonomi, itu saya pamerkan di sana. Banyak yang beli. Pengunjung yang datang ke Liponsos ini juga suka membeli kerajinan ini. Sering ada yang memborong sampai habis,” katanya bangga.




Beberapa contoh hasil karya wanita-wanita penghuni Liponsos. Gambar pertama merupakan mukenah berbahan dasar katun Jepang. Kemudian gambar kedua adalah hiasan-hiasan perabot rumah seperti kulkas, meja, dll. Gambar ketiga adalah rupa-rupa keset karya mereka, dan gambar terakhir adalah kerajinan bunga dari kulit bawang putih.


Harga yang ditawarkan memang cukup terjangkau dan dibarengi dengan kualitas serta visual yang apik. Ia menjual mulai dari harga 500 rupiah untuk bros, dan paling mahal 200 ribu rupiah untuk mukenah yang menggunakan bahan katun Jepang. Hasil penjualan tersebut disimpan, dan seringkali digunakan untuk rekreasi dan makan-makan bersama.

“Uangnya untuk dua bulan sekali rekreasi. Kita ajak main ke taman-taman kota, seperti Taman Bungkul, Kebun Bibit, KBS, Mangrove, dan lain-lain. Satu bulan sekali kita ada acara makan-makan bersama. Makan-makannya ya macam-macam, bisa pesan-antar makanan fast food, rujak, gado-gado, bebek, lontong balap, es krim, es degan, macam-macam. Lalu satu minggu atau dua minggu sekali kita beli kue. Intinya uang dari anak-anak, kita gunakan untuk anak-anak,” tuturnya.

Selama empat tahun ini, Wiwit merasakan banyak sekali pengalaman aneh, lucu, hingga yang menakutkan. Semua pengalaman tersebut menjadi kenangan tersendiri baginya, dan ia sudah tahu cara mengatasinya.

“Kalau mereka lagi kumat itu ya, ditanya nggak menjawab, marah-marah, sempat melempar gunting sampai mengenai orang lain. Terus kadang kalau diajak rekreasi gitu ada yang hilang. Kalau waktu rekreasi mengawasi anak segini banyak, kan, susah, jadi ya sering hilang satu, hilang dua. Tapi ya nanti pasti kembali lagi. Paling lama itu hilang sebulan tapi kembali lagi, namanya Erika. Hilang di Kebun Bibit Wonorejo waktu itu. Kalau Hermin hilang dua kali, yang pertama di Kebun Bibit Bratang, lalu di Kebun Bibit Wonorejo. Tapi ya terus mbalik,” ujarnya sambil tertawa.

Wiwit memiliki harapan agar apa yang ia ajarkan bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi para penghuni, baik selama mereka berada di dalam Liponsos, maupun ketika sudah di luar. Namun, ia merasa bahwa selama ini manfaat yang ia berikan hanya bersifat sementara, karena para wanita didikannya tidak diberikan tempat tinggal terpisah agar mereka bisa melanjutkan karya mereka.

“Anak-anak ini kan (tinggalnya) satu barak, antara yang level seperempat gilanya sampai yang level seratus persen gila. Saya pinginnya anak-anak yang sudah ikut kelas keterampilan ini dipisah sendiri. Rata-rata anak-anak yang ikut keterampilan ini bajunya dicuci sendiri, ditaruh di kardus, disisihkan sendiri, bisa minta ke pendamping untuk sabunnya. Tapi karena mereka jadi satu ini, jadi mereka-mereka yang sudah terstimulus otak kirinya ini untuk pengembangan mentalnya ini, kembali ke barak bertemu dengan teman-temannya yang parah-parah, ya mbalik lagi. Kan kelas kerajinan tangan ini hanya dua jam sehari. Lebih lama waktu mereka untuk bengong di barak,” jelas wanita berkerudung ini.

Wiwit berharap baik Pemerintah Kota maupun masyarakat agar memahami kondisi penghuni Liponsos, dan memahami potensi mereka yang susah mencapai tingkat maksimal karena lingkungannya.

“Akan baik sekali kalau harapan itu bisa terwujud. Karena mereka-mereka ini berpotensi menuju normal, dan memiliki keterampilan lebih.” Tutupnya.

No comments:

Post a Comment