Belasan wanita
terlihat sedang asyik menyambung-nyambungkan potongan kain dengan berbagai
warna di atas karung tipis. Beberapa belum terlihat karya apa sebenarnya yang
ingin ia tunjukkan, beberapa lainnya sudah menyelesaikan satu dan memulai
selanjutnya. Siang itu di hari Rabu, 16 November 2016, para wanita yang memiliki
gangguan jiwa ini dengan penuh ketelatenan menggarap keset berbahan dasar sisa
kain kaos.
Wanita-wanita
ini adalah penghuni Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Keputih, Surabaya. Beberapa
diantaranya merupakan orang-orang hasil tangkapan Satpol PP, dan ada juga yang
diserahkan ke Liponsos oleh keluarganya sendiri. Berada di Liponsos membuat
mereka terisolasi dari dunia luar. Tidak ada banyak hal yang bisa mereka
lakukan, atau lebih tepatnya tidak banyak tenaga kerja dan kegiatan yang
disediakan oleh Liponsos. Maka, dimulai sejak tahun 2012, Liponsos memutuskan
untuk membuat kegiatan rutin yang bisa menstimulus kerja otak penghuni dengan
membuat kelas kerajinan tangan.
Salah satu penguhni Liponsos sedang menyelesaikan kesetnya. |
Kelas
kerajinan tangan ini dipimpin oleh Wiwit Manfaati dan suaminya Supardi. Selama empat
tahun mereka menjadi pengajar kerajinan tangan khusus untuk penghuni Liponsos. Kelas
ini diadakan lima kali dalam seminggu. Biasanya, kelas berlangsung selama
kurang lebih dua jam lamanya.
“Dulu
sebelum saya sudah ada satu tahun (kelas kerajinan tangan berjalan), tapi
seminggu cuma dua kali dan hasilnya nggak
maksimal. Kalau sekarang garapannya sudah lumayan, sudah agak maksimal, lebih
rapi, kalau dulu masih belum diarahkan dengan baik. Misalnya dari segi warna,
itu asal dicampur-campur saja. Sulaman juga belum rata. Anak-anak ini, kan, tidak
seperti orang normal, kalau pingin
warna apa, ya sudah warna semaunya dia pakai,” terang Wiwit.
Wiwit Manfaati, pengajar kerajinan tangan di Liponsos Keputih, Surabaya selama empat tahun. |
Mengajar
kerajinan tangan kepada orang-orang yang memiliki gangguan jiwa tentu berbeda
dengan mengajar orang-orang biasa. Wiwit pun mengisahkan kesulitannya ketika ia
baru memulai menjadi pengajar di Liponsos.
“Awalnya saya
juga kesulitan megang mereka, dulu saya biarkan mereka semaunya sendiri. Susah,
tidak mau diberitahu, marah-marah sendiri. Nah, begitu mereka tahu kalau
pembeli mesti beli yang warnanya bagus, mereka tahu ‘oh itu punya saya yang
kemarin bu yang dibeli!’ akhirnya dia tahu sendiri kombinasi warna yang bagus,
garapannya bagus. Akhirnya mau diarahkan. Kalau menurut saya jelek ya dia mau membongkar
dan memulai dari awal,” jelas Wiwit.
Wanita yang
senang membuat kerajinan tangan sejak kecil ini menyadari potensi dari
hasil-hasil karya penghuni Liponsos. Tidak hanya membuat keset, ia juga
mengajari mereka menyulam, menjahit, hingga membuat bunga dari kulit bawang
putih, bros, mukenah, hiasan kulkas, dan lain-lain. Hasilnya pun cukup
memuaskan.
“Hasil karya
ini biasanya dititipikan di sentra-sentra UKM Surabaya, seperti di Siola, CITO,
macam-macam. Kalau saya lagi pameran juga biasanya saya bawa, misalnya seperti
roadshow Pahlawan Ekonomi, itu saya pamerkan di sana. Banyak yang beli. Pengunjung
yang datang ke Liponsos ini juga suka membeli kerajinan ini. Sering ada yang
memborong sampai habis,” katanya bangga.
Harga yang
ditawarkan memang cukup terjangkau dan dibarengi dengan kualitas serta visual
yang apik. Ia menjual mulai dari harga 500 rupiah untuk bros, dan paling mahal
200 ribu rupiah untuk mukenah yang menggunakan bahan katun Jepang. Hasil penjualan
tersebut disimpan, dan seringkali digunakan untuk rekreasi dan makan-makan
bersama.
“Uangnya untuk
dua bulan sekali rekreasi. Kita ajak main ke taman-taman kota, seperti Taman
Bungkul, Kebun Bibit, KBS, Mangrove, dan lain-lain. Satu bulan sekali kita ada
acara makan-makan bersama. Makan-makannya ya macam-macam, bisa pesan-antar
makanan fast food, rujak, gado-gado,
bebek, lontong balap, es krim, es degan, macam-macam. Lalu satu minggu atau dua
minggu sekali kita beli kue. Intinya uang dari anak-anak, kita gunakan untuk
anak-anak,” tuturnya.
Selama empat
tahun ini, Wiwit merasakan banyak sekali pengalaman aneh, lucu, hingga yang
menakutkan. Semua pengalaman tersebut menjadi kenangan tersendiri baginya, dan
ia sudah tahu cara mengatasinya.
“Kalau mereka
lagi kumat itu ya, ditanya nggak menjawab,
marah-marah, sempat melempar gunting sampai mengenai orang lain. Terus kadang
kalau diajak rekreasi gitu ada yang hilang. Kalau waktu rekreasi mengawasi anak
segini banyak, kan, susah, jadi ya sering hilang satu, hilang dua. Tapi ya
nanti pasti kembali lagi. Paling lama itu hilang sebulan tapi kembali lagi,
namanya Erika. Hilang di Kebun Bibit Wonorejo waktu itu. Kalau Hermin hilang
dua kali, yang pertama di Kebun Bibit Bratang, lalu di Kebun Bibit Wonorejo.
Tapi ya terus mbalik,” ujarnya sambil
tertawa.
Wiwit memiliki
harapan agar apa yang ia ajarkan bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi para
penghuni, baik selama mereka berada di dalam Liponsos, maupun ketika sudah di
luar. Namun, ia merasa bahwa selama ini manfaat yang ia berikan hanya bersifat
sementara, karena para wanita didikannya tidak diberikan tempat tinggal
terpisah agar mereka bisa melanjutkan karya mereka.
“Anak-anak ini
kan (tinggalnya) satu barak, antara yang level seperempat gilanya sampai yang
level seratus persen gila. Saya pinginnya anak-anak yang sudah ikut kelas
keterampilan ini dipisah sendiri. Rata-rata anak-anak yang ikut keterampilan
ini bajunya dicuci sendiri, ditaruh di kardus, disisihkan sendiri, bisa minta
ke pendamping untuk sabunnya. Tapi karena mereka jadi satu ini, jadi
mereka-mereka yang sudah terstimulus otak kirinya ini untuk pengembangan
mentalnya ini, kembali ke barak bertemu dengan teman-temannya yang parah-parah,
ya mbalik lagi. Kan kelas kerajinan
tangan ini hanya dua jam sehari. Lebih lama waktu mereka untuk bengong di barak,”
jelas wanita berkerudung ini.
Wiwit berharap
baik Pemerintah Kota maupun masyarakat agar memahami kondisi penghuni Liponsos,
dan memahami potensi mereka yang susah mencapai tingkat maksimal karena
lingkungannya.
“Akan baik
sekali kalau harapan itu bisa terwujud. Karena mereka-mereka ini berpotensi
menuju normal, dan memiliki keterampilan lebih.” Tutupnya.
No comments:
Post a Comment