Tuesday, October 25, 2016

Radio Pertanian Wonocolo: Siaran Langsung Wayang, Cari Jodoh, Hingga Mempertemukan Orang yang Terpisah Puluhan Tahun

Untung Surojo, penyiar radio komunitas Radio Pertanian Wonocolo selama hampir 23 tahun.

                Radio Komunitas memang nyaris punah. Beberapa diantaranya gulung tikar, berubah menjadi radio swasta, atau merombak drastis konten yang ditampilkan demi menuruti yang lebih digandrungi. Orisinalitas Radio Komunitas kian dipertanyakan, dan semakin langka yang tetap mempertahankan tujuan awal mereka. Fase hidup Radio Komunitas memang tak selanggeng radio swasta yang mendapat suntikan dana dari sana-sini. Hal itulah yang membuat jumlah Radio Komunitas terus menyusut.

           Salah satu Radio Komunitas yang masih kukuh dengan program-program lama mereka adalah Radio Pertanian Wonocolo. Radio yang bisa ditemukan di saluran AM 1449 KHz ini merupakan salah satu Radio Komunitas yang sangat tua, didirikan pada 16 Juli 1969. Radio ini dibangun atas ide dari Gubernur Jawa Timur kala itu, yaitu Mohammad Noer.

“Waktu itu pemerintah Orde Baru kan menggalakkan REPELITA, nah di tahapan 5 tahun itu, Jawa Timur menggalakkan sektor pertanian. Dulu kita masih menjadi seksi publikasi kantor pertanian,” kata Untung Surojo, ketua dari Radio Pertanian Wonocolo.

Untung Surojo telah menjadi penyiar di Radio Pertanian Wonocolo selama hampir 23 tahun lamanya. Ia juga sempat menjabat sebagai ketua Jaringan Radio Komunitas (JRK) Jawa Timur selama tiga tahun. Kecintaannya terhadap radio sudah ia rasakan sejak kecil. Rasa cinta inilah yang membuatnya ingin terus melestarikan Radio Komunitas dan konten yang dibawakan.

“Konten kami hampir sama. Saya mempertahankan itu. Yang berbeda hanya sekarang kami menyisipkan konten untuk anak muda, tetapi itu tidak banyak. Jadi ketika jeda segmen, kita sisipkan artikel tentang bahaya narkoba, kenakalan remaja, keamanan, misalnya. Jadi lebih ke hal umum, bukan pertanian. Kemudian tiap jeda juga kita sisipkan misalnya peringatan-peringatan musibah banjir, tanah longsor, seperti itu. Dulu nggak kepikiran (membuat segmen) seperti itu,” tutur Untung.

Untung saat siaran. Saat ini, ia masih aktif siaran mulai dari siang hingga malam hari.

Teknis-teknis siaran juga berubah. Dulu mereka lebih sering memutar rekaman siaran, sedangkan saat ini lebih banyak siaran langsung. Perubahan gelombang juga mereka rasakan. Jika dulu menggunakan gelombang SW (gelombang pendek), saat ini menggunakan AM. Lalu, siaran yang dulunya hanya 6-7 jam, saat ini dilakukan selama 24 jam. Tetapi, selain itu semua, tidak ada perubahan yang berarti pada program siaran.

“(Untuk siaran) bangun tidur itu (memainkan) gendhing, kan kesenangannya petani. Lalu jam 08.00 pagi ada segmen Bingkisan Untuk Ibu-ibu. Jadi artikel masak, perawatan wajah, merawat anak, seputar itu. Lalu agak siang menuju hiburan, ada lagu-lagu campursari. Lalu ada obrolan dengan tokoh masyarakat di jam 13.00 siang. Berikutnya ada hiburan tapi bentuknya sentilan, jadi kritik sosial, mengkritik kebijaksanaan pemerintah, gitu-gitu. Durasinya cukup lama, jam 14.00-16.00 sore. Saya sendiri yang menjalankan segmen ini. Kalau malam, waktunya berinteraksi dengan petani. Kalau dulu kan tidak ada SMS, jadi judul programnya Menjawab Surat Petani. Sekarang lewat SMS atau telpon langsung. Jadi ada segmen on air interaktif dengan petani. Selain itu, sampai sekarang saya mutar wayang seminggu dua kali, yaitu hari Kamis dan Sabtu. Kita memutar rekaman lama. Tapi diluar hari itu misalnya ada yang nanggap wayang lalu minta kita siaran langsung, ya kita siaran. Kemudian seperti Tembang Macapat, itu sudah langka, tapi kita masih menayangkan,” jelas Untung.

Ruang siaran Radio Pertanian Wonocolo. Kantor radio ini berada di Jl. Ahmad Yani No. 156 Surabaya.

Konsistensi Radio Pertanian Wonocolo ini berbuah penghargaan. Mereka berhasil menyabet LPJ Award yang diberikan oleh Keraton Jogjakarta dengan titel radio pelestari budaya. Konten-konten yang disajikan radio ini juga menjadi obat rindu bagi orang-orang di Indonesia sendiri, maupun luar negeri. Ini dikarenakan radio mereka memiliki website untuk streaming, sehingga siaran mereka bisa didengarkan dimanapun, kapanpun, oleh siapapun.

“Jadi pendengar kita nggak hanya orang Indonesia, tapi juga orang-orang luar negeri. Kita tau dari SMS-SMS yang kita terima. Musik yang kita putar di sini kan mereka jarang dengar, jadi mereka senang mendengarkan. Ada dari Amerika, Kuwait, Belanda, Jepang, ada orang Indonesia yang tinggal di sana, ada juga ya orang asli sana yang mendengarkan,” ujarnya.

Menjadi sesepuh  di dunia radio tentu membuat Untung memiliki banyak sekali pengalaman-pengalaman istimewa, dan berinteraksi dengan pendengar lewat cara-cara yang unik juga.

“Tiap satu bulan sekali kita mengumpulkan penggemar di minggu ke dua. Biasanya sekitar 200an orang yang datang. Itu kita diskusi macem-macem. Ada nyanyi-nyanyinya juga. Nah lewat acara itu, saya bisa mempertemukan orang sudah berpisah puluhan tahun. Jadi dulu mereka tinggal satu desa, masih satu keluarga. Kan kita tiap kali ada pertemuan dengan penggemar kita umumkan di radio. Akhirnya ya bertemu di radio ini,” kenangnya sembari tertawa.

Tidak berhenti sampai disitu, Untung juga mempertemukan jodoh antar pendengar yang berasal dari kota-kota yang berjauhan, namun menyatu karena menjadi pendengar setia radio ini. Untung sendiri mengaku kewalahan jika harus menghitung berapa banyak jumlah pasangan yang telah ia jodohkan.

“Banyak yang sampai nikah. Nah, itu juga saya pertahankan, jadi saya mengadakan ruwatan masal untuk menampung orang-orang yang kesulitan jodoh. Jadi itu ritual, kita siarkan langsung. Kita adakan di gedung. Yang ikut ratusan orang. Itu tradisi Jawa. Tapi kemudian berkembang bisa ada orang usaha ingin laris, ikut ruwatan. Itu sampai 17 kali saya melakukan ruwatan. Di acara wayang-wayang itu juga sering tiba-tiba ada yang curhat soal keluarga, misalnya. Lalu diselesaikan bersama,” kata Untung.

Saat ini, penyiar tetap Radio Pertanian Wonocolo hanya tinggal tiga orang. Tetapi, ada 12 penyiar lain yang memang hobi siaran dan membantu secara sukarela. Agar radio ini tetap berjalan, mereka harus memutar otak, karena jelas tidak boleh memasang iklan. Maka, untuk memenuhi kebutuhan, mereka membuka usaha warung, dan menayangkan iklan layanan masyarakat dari produk tertentu. Radio Komunitas ini memiliki jasa besar, terutama bagi para petani di masanya. Semoga Radio Pertanian Wonocolo bisa tetap mempertahankan, bahkan mengembangkan diri mereka, agar bisa tetap hidup meski bergumul dalam huru-hara radio swasta.

Sunday, October 16, 2016

Menebar Asa di Sekolah Terbuka SMP Negeri 19 Surabaya

       Pendidikan memang seharusnya tidak menjadi barang mewah. Di tengah hiruk-pikuk kegalauan biaya pendidikan, Pemerintah Kota Surabaya sepenuh hati berusaha memangkas –bahkan menggratiskan – biaya pendidikan bagi anak-anak Surabaya. Bila sejak tahun 1979 Pemkot berkomitmen menyekolahkan anak-anak yang kurang mampu lewat Sekolah Terbuka, Pemkot juga membebaskan murid-murid SMA Negeri dari biaya sekolah per tahun 2011 demi merealisasikan program SPP gratis 12 tahun. Dan di tahun 2016 ini, Pemkot mulai menjajal ranah kampus negeri dan lembaga pelatihan untuk memberikan beasiswa bagi anak-anak Surabaya yang berprestasi dan kurang mampu. Beasiswa perkuliahan ini ditujukan baik untuk sarjana maupun diploma, sedangkan jurusan yang dituju adalah kedokteran, S2 kenotariatan, serta pramugari dan pramugara.

Murid-murid Sekolah Terbuka SMPN 19 Surabaya

          Pendidikan merupakan inti terpenting bagi kemajuan suatu negara. Apalagi, jika pendidikan yang ditawarkan tak hanya mengenai akademik dan rentetan standar nilai saja, tetapi juga moral dan keterampilan lainnya. Pendidikan semacam itu bisa didapat secara cuma-cuma di Sekolah Terbuka. Salah satu sekolah yang sudah 17 tahun menyandang status tersebut adalah SMP Negeri 19 Surabaya. Ia sekaligus menjadi induk bagi Sekolah-Sekolah Terbuka lainnya.

         “Sekolah Terbuka adalah program pemerintah, khususnya untuk anak-anak bangsa yang kebetulan kurang akses ke sekolah. Jadi misalnya kesulitan dana, waktu, sarana prasarana, dan lain-lain. Itu pemerintah memfasilitasi lewat Sekolah Terbuka itu. Memang tersebar di seluruh Indonesia. Kemudian, SMPN 19 Surabaya ditunjuk oleh pemerintah kota sebagai pembina,” jelas Erna Dwi Nastiti, koordinator Sekolah Terbuka SMP Negeri 19 Surabaya selama lima tahun ini.

Erna Dwi Nastiti, koordinator Sekolah Terbuka SMPN 19 Surabaya.

             Murid-murid Sekolah Terbuka di SMP Negeri 19 Surabaya ini cukup banyak dengan total delapan kelas. Masing-masing kelas diisi oleh sekitar 20 siswa. Tidak ada perbedaan antara fasilitas yang digunakan oleh murid Sekolah Terbuka dengan murid reguler. Yang membedakan hanyalah murid Sekolah Terbuka memulai jam pelajaran pada jam 14.00 siang setelah murid reguler selesai, dan berakhir sekitar pukul 17.00 sore.

             “Karena outputnya adalah siswa-siswa Sekolah Terbuka juga harus ikut UNAS, jadi untuk materi pelajaran sama persis dengan reguler. Pengajarnya juga sama. Kurikulumnya sama persis, tapi dalam proses belajar mengajar beda, karena ada keterbatasan waktu. Misalnya reguler pelajaran Bahasa Inggris 4-5 jam, kalau sekolah terbuka hanya 2 jam,” tuturnya.

            Jam belajar ini ditentukan agar anak-anak yang sekolah sambil bekerja bisa menyesuaikan waktu mereka. Sebisa mungkin waktu untuk sekolah tidak membebani mereka dalam menjalani kesehariannya. Selain waktu yang dipermudah, Sekolah Terbuka juga memberikan peralatan sekolah secara gratis.

            “Untuk biaya sekolahnya gratis. Kemudian topi, seragam, dasi, tas, sepatu, dan lain-lain juga gratis. Untuk buku bisa meminjam di perpustakaan sekolah. Semuanya diberikan bantuan oleh Pemkot, jadi anak-anak tinggal sekolah saja. Sekolah tidak boleh mengambil satu rupiah pun dari bantuan tersebut,” terang guru Bimbingan Konseling dan Life Skill ini.

           Untuk menjadi siswa dari Sekolah Terbuka, tidak terlalu banyak syarat yang diajukan dan tanpa seleksi. Kriteria yang disebutkan oleh Erna adalah cukup melihat dari ekonomi orang tua dan memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan. Siswa cukup membawa SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu), Kartu Keluarga, akte kelahiran, dan ijazah atau SKHUN.

            “Ada juga keluarga yang kurang beruntung, kemudian ada keinginan untuk sekolah tapi tidak keterima negeri, misalnya. Dan mau masuk sekolah swasta tidak kuat menanggung biayanya. Jadi larinya ke SMP terbuka,” katanya.

           Siti Maesaroh, siswi kelas 2 di Sekolah Terbuka SMP Negeri 19 Surabaya ini mengaku sangat senang dengan adanya sekolah gratis. Ayah Siti bekerja sebagai kuli bangunan, sedangkan Ibunya sebagai ibu rumah tangga. Apabila menyekolahkan anak dengan biaya pada umumnya, tentu akan terasa berat bagi mereka.

            “Soalnya ini semua itu gratis. Jadi nggak terlalu membebani orang tua. Senang banget sekolah di sini,” jelas gadis pecinta pelajaran Bahasa Indonesia tersebut.

Siti Maesaroh, siswi Sekolah Terbuka.


                Selain pelajaran biasa, Siti juga senang dengan pelajaran life skill yang diajarkan oleh Erna. “Bu Erna sering mengajari kita untuk berjualan, jadi kita ya ada acara khusus berjualan di sekolah. Aku sendiri pengen banget punya bisnis. Cita-citaku ingin jadi orang sukses, jadi manajer perusahaan hijab,” ujarnya sambil tersenyum.

          Dengan keterbatasan ekonomi yang membelit para orang tua, tak sedikit anak yang terpengaruh oleh kondisi tersebut. Erna pun mengakui beberapa orang tua ada yang mendukung anaknya untuk bersekolah, tetapi ada juga yang kurang mendukung. Hal ini akhirnya berdampak pada perilaku anak-anak di sekolah.

        “Ya, mungkin ini pengaruh dari keluarga. Orang tua yang kurang mendukung ya sekolah terserah, enggak ya terserah. Tapi juga banyak yang mendukung. Anak-anak yang dapat dukungan dari orang tua inilah yang sekolahnya bisa bagus. Nah yang tidak, ini juga ekstra, kami sebagai pendidik harus telaten momong mereka supaya mereka punya kemauan untuk belajar. Saya selalu memotivasi anak-anak, ‘kalian harus sekolah yang rajin, yang pinter, yang baik, karena apa? Ini lho kamu tinggal duduk manis, belajar, kalian bisa sukses. Semuanya sudah disediakan oleh pemkot,’. Ini adalah amanah kita semua. Siapa lagi yang akan menggendong anak-anak ini kalau bukan kita?” kata Erna.

         Banyak anak-anak Sekolah Terbuka yang telah merasakan manfaat dari pendidikan. Mereka berhasil melanjutkan pendidikan di SMA Negeri, SMK, maupun swasta. SMA Negeri terfavorit pun tak luput dari mereka. Memang akan selalu ada anak-anak berprestasi yang terhalang oleh kondisi ekonomi. Sangat disayangkan, jika anak-anak dengan otak cemerlang ini harus menghentikan usaha meraih cita-cita mereka. Maka, tugas negara lah sebagai pengayom masyarakat untuk sekuat tenaga mengembalikan asa tersebut. Karena pada akhirnya, anak-anak terdidik inilah yang nantinya akan mengemban tanggung jawab sebagai pemimpin generasi selanjutnya.

Saturday, October 15, 2016

Budaya Arek: Berani Tanpa "Mbendol Mburi"

Adrian Perkasa S. Hub. Int., S. Hum., M. A., Dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga


Rek ayo rek mlaku mlaku nang Tunjungan
Rek ayo rek rame rame bebarengan
Cak ayo cak sopo gelem melu aku
Cak ayo cak dolek kenalan cah ayu

           
       Sepenggal lirik dari lagu khas Surabaya ”Rek Ayo Rek” tersebut tentu sangat familiar di telinga kita. Panggilan “Rek” yang berasal dari kata “Arek” sendiri merupakan cara orang-orang di Jawa Timur untuk memanggil satu sama lain dan terasa lebih akrab. Ditambah dengan panggilan “Cak” yang ditujukan untuk laki-laki, dalam lirik ini digambarkan seakan mereka diajak untuk mencari kenalan perempuan cantik, semakin menunjukkan adanya sisi egaliter, tanpa kasta, yang secara bebas mengekspresikan diri ala Arek.

     Kebudayaan Arek sendiri dijelaskan oleh Adrian Perkasa, dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga sebagai budaya yang “sama rata, sama rasa”. Arek sebelumnya tidak mengenal tingkatan-tingkatan dalam berbahasa maupun bermasyarakat, hingga akhirnya budaya Mataraman memasuki Surabaya.

        “Arek sendiri berasal dari kata “Lare” yang berarti “anak”. Kenapa kok jadi Arek, (itu) ada kaitannya sama sejarah Jawa pasca Majapahit runtuh,” tutur Adrian.


Menurutnya, saat ini tidak banyak yang tahu bahwa dulu Surabaya adalah kerajaan yang sangat besar, bernama Kerajaan Surabaya. Kerajaan ini merupakan kerajaan pesisir yang sangat berkuasa dan memiliki kekuatan maritim yang besar. Kala itu, Kerajaan Surabaya memiliki pengaruh hingga ke Kalimantan seperti Sukadana dan Sambas.


“Kita sepakat kalau Surabaya ini kekuatan maritimnya sangat besar. Jadi waktu itu, jalur transportasi air kita sangat ramai, dan perahu-perahu banyak menepi di Kali Mas,” jelas mantan Cak Surabaya tahun 2005 ini.

Di tahun 1527, Surabaya maju pesat. Bahkan, ia dijadikan sebagai pelabuhan utama oleh Kerajaan Majapahit. Hingga akhirnya, ketika Kerajaan Majapahit runtuh di tahun 1389, Kerajaan Mataram Islam berkembang pesat dan memaksa Surabaya untuk tunduk dengan embel-embel ­keturunan Majapahit.

“Tetapi, tentu tidak mudah dalam menundukkan Surabaya, Madura, dan lainnya. Kerajaan-kerajaan ini menolak karena merasa mereka lebih maju, lebih pintar,” terangnya.

Surabaya dengan karakternya yang gigih dan pantang menyerah membuat Mataram Islam kewalahan. Namun, mereka tidak kehabisan akal. Mataram Islam memblokade Kali Mas dan menyebabkan surutnya air, penyakit yang merajalela, hingga menyebabkan tingkat kematian penduduk Surabaya mencapai jumlah yang mengkhawatirkan. Saat itu, penduduk Surabaya yang berjumlah 30.000an, menyusut menjadi hanya belasan ribu.

          “Akhirnya, raja dari Kerajaan Surabaya memerintahkan untuk mundur, daripada kondisi masyarakat semakin hancur. Sultan Agung pun berhasil menundukkan Surabaya di tahun 1625 sekaligus mengakhiri era Kerajaan Surabaya,” jelas laki-laki berkacamata ini.

           Kekalahan yang pedih ini memunculkan dendam membara yang tidak pernah mati bagi Arek. Dendam ini pun diwujudkan dengan sikap Arek yang tidak mau mengikuti tata bahasa Mataraman yang memang jauh berbeda. Mataraman menggunakan bahasa-bahasa krama inggil yang halus dan kaku.

            “Arek itu terkenal tidak ada krama inggil. Ada bahasa yang halus tapi hanya untuk raja, dan tidak sekaku itu. Bahasa ini masih dipakai terus hingga sekarang, dan Arek tidak mau memakai bahasa Mataraman yang sangat halus itu,” katanya.

       Karakter Arek pun akhirnya berbeda dengan Mataraman. Arek biasa bicara apa adanya atau blak-blakan, menyebabkan kampung-kampung di Surabaya saat ini jarang ada konflik karena sifat terbuka tersebut. Berbeda dengan Mataraman yang memendam perasaan tetapi mbendol mburi. Artinya, Arek lebih memiliki keberanian untuk mengungkapkan pemikirannya tanpa terhalang oleh status apapun, sedangkan Mataraman memilih untuk mendendam dan membicarakan dibelakang.

      “Nah, kita kan akhirnya nggak memakai (hiasan kepala) yang mbendol mburi (blangkon), tapi kita pakai yang model udeng karena kita campuran dari berbagai budaya. Surabaya itu jawa campuran. Akhirnya  gaya kesenian kita juga beda,” jelasnya.

        Kesenian yang paling mencerminkan kebudayaan Arek menurut Adrian adalah ludruk. Ludruk menampilkan drama yang lebih merakyat, dibandingkan dengan Mataraman yang keseniannya lebih menggambarkan kehidupan istana, atau kehidupan orang-orang dengan kasta yang tinggi. Bagi Adrian, karakter dan kebudayaan Arek Surabaya ini harus dipertahakan, karena ia merupakan ciri utama dari Surabaya.

“Mungkin orang luar lihat kita kasar, tapi kita merasa nyaman didalamnya, karena kita biasa apa adanya.” Ujarnya.