Sunday, November 27, 2016

Menghidupkan Kembali Sawunggaling, Sang Pahlawan Pengusir Penjajah Asal Lidah Wetan

Joko Berek kerap digambarkan sebagai sosok laki-laki desa yang kuat, dan setia ditemani oleh kuda dan ayam jagonya yang bernama Sawunggaling.

        Pagelaran budaya yang sempat ditinggalkan, kini kembali disemarakkan. Geliat kegiatan budaya ini diprakarsai oleh kampung-kampung bersejarah di Surabaya. Mereka bergabung dalam rangkaian ritual Sedekah Bumi, yaitu ritual yang bertujuan untuk menyampaikan rasa syukur masyarakat kepada bumi atas hasil panen yang melimpah. Selain berupa arak-arakan yang memperlihatkan limpah ruah hasil panen, beberapa kampung menunjukkan kekhasan daerah mereka dari berbagai sisi, seperti Kelurahan Made yang menampilkan okol atau gulat tradisional, ludruk khas Kelurahan Sonokwijenan, dan pertunjukan legenda pahlawan asal Kelurahan Lidah Wetan yaitu Joko Berek alias Sawunggaling.

       Pertunjukan budaya ini disebut sebagai “Kirab Kadipaten Suroboyo” oleh warga Lidah Wetan. Kirab yang diadakan pada hari Minggu, 23 Oktober 2016 ini merupakan kirab kelima sejak pertama kali diadakan di tahun 2012. Dalam kirab ini, warga berlomba-lomba menampilkan karya yang dibuat secara gotong royong, seperti tumpeng raksasa berupa sayur dan buah sebagai persembahan. Tak ketinggalan simbol-simbol khas dari sejarah Sawunggaling yang dibuat versi raksasa, seperti ayam jago yang merupakan hewan kesayangan Sawunggaling, kuda, kemudian berperan sebagai Sawunggaling versi kecil hingga dewasa, orang tua Sawunggaling yakni Jayengrana dan Dewi Sangkrah, dan lain-lain. Semua seakan dihidupkan kembali lewat kirab ini.

Arak-arakan sayur dan buah-buahan mejadi simbol limpah ruah berkah bumi. Beberapa diberi hiasan uang palsu maupun uang asli.

          “Kami mengadakan kembali acara ini, karena ini merupakan salah satu pendidikan tentang budaya yang harus diberikan kepada seluruh masyarakat, mulai dari anak-anak kelas PAUD sampai mereka yang sudah lansia. Karena kan kita bukan hanya bercerita, tapi memberikan pemahaman soal perilaku Sawunggaling yang terpuji dan patut dicontoh, dengan tema kampung ndeso,” kata Andi Bocor selaku ketua pelaksana kirab.

          Legenda Joko Berek atau Sawunggaling dulu sering diangkat dalam pentas Ludruk maupun Ketoprak. Banyak sekali versi cerita Sawunggaling, namun semuanya memiliki garis besar yang sama. Sawunggaling dikisahkan sebagai anak dari Jayengrana dan Dewi Sangkrah. Jayengrana adalah seorang Adipati Surabaya yang terhormat, sedangkan Dewi Sangkrah adalah gadis desa dari Lidah Donowati, sebutan lawas untuk Lidah Wetan.

Ilustrasi pernikahan Adipati Jayengrana dan Dewi Sangkrah.

      Ketika usia kehamilan Dewi Sangkrah menua, Jayengrana tidak pernah lagi datang untuk menemuinya. Maka sejak Joko Berek lahir, ia tidak pernah mengenal Ayahnya. Ketika dewasa, ia memutuskan ingin menemui Ayahnya. Ditemani oleh ayam jago kesayangannya yang bernama Sawunggaling, Joko Berek pergi ke Kadipaten. Namun, tak semudah itu mendapatkan pengakuan dari Jayengrana. Ia harus mengikuti sayembara memanah di Menara Galak. Pemenang sayembara akan menjadi adipati selanjutnya. Joko Berek pun memenangkan sayembara tersebut dan berhasil menjadi Adipati Surabaya. Selama menjadi adipati, ia terus melawan penjajah dan menjadi salah satu pahlawan Surabaya.

       “Sisi positif dari cerita ini yang ingin kita ajarkan ke seluruh generasi masyarakat di Lidah Wetan, bahwa Sawunggaling merupakan sosok dengan perilaku yang baik, pantang menyerah, dan semangat melawan penjajahnya itu luar biasa, tanpa kenal lelah. Kami ingin masyarakat juga memiliki perilaku dan sifat seperti ini,” jelas Andi.

        Ide awal dari kirab ini adalah ketika Andi dan teman-temannya yang berasal dari berbagai paguyuban se-Surabaya, ingin mengadakan acara doa bersama yang diteruskan dengan kegiatan budaya. Setelah itu, baru muncul rangkaian acara lainnya, seperti kirab budaya, pertunjukkan wayang kulit, tari remo, pawai, dan sebagainya.

“Banyak sekali paguyuban yang mendukung acara ini, kurang lebih ada 50 paguyuban, seperti Gaman, Saman Tomo, pecinta alam, karate, dan lain-lain. Intinya, kami ini inginnya menyemangati masyarakat. Ojo ngaku weruh sejarah Suroboyo nek gak ngerti Sawunggaling. Karena bagi saya, budaya hanya akan menjadi sebatas kata saja kalau tidak dikerjakan seperti ini. Istilahnya, tanpa digali, sumur itu tidak akan keluar air,” ujar pria yang sudah 38 tahun hidup di Lidah Wetan ini.

GAMAN termasuk dalam salah satu paguyuban yang tak pernah absen berpartisipasi dalam kirab budaya.

Andi menyadari bahwa kehidupan di Surabaya yang merupakan kota metropolitan membuat masyarakat semakin jauh dari budaya dan sejarah kota. Masyarakat terlalu dikepung oleh modernitas dan melupakan akar identitanya. Ia pun merasa bahwa kirab ini merupakan salah satu bentuk perjuangan yang tidak akan pernah selesai.

“Anak-anak sekarang sibuk dengan gadget, televisi, lupa dengan budaya asli. Ini adalah salah satu bentuk perjuangan kami. Dulu kirab budaya seperti ini memang sepertinya sudah mati, tapi belum, hanya mati suri. Sekarang kita perjuangkan agar terus hidup kembali,” tuturnya.

Kirab bagi Andi merupakan bagian dari Sedekah Bumi ini merupakan kesempatan bagi seluruh masyarakat untuk mensyukuri nikmat yang diberikan oleh bumi, sekaligus sebagai napak tilas leluhur terdahulu. Antusiasme masyarakat pun sangat besar, mengingat acara ini selalu ramai peserta maupun penonton selama lima tahun ini dan terus berkembang. Ini menandakan bahwa masyarakat tidak lupa, maupun ingin melupakan. Menurutnya, masyarakat hanya ingin diingatkan kembali dengan cara bersama-sama berdoa, berkreasi, berpesta, demi mempererat silaturahmi dengan orang-orang yang tak lagi dianggap hanya sebagai tetangga, tetapi saudara.

-------------------------------------------------------------------

Foto-foto ini saya unggah, karena dibuang sayang. Tidak ahli fotografi, dengan kamera yang pas-pasan. Tapi bagi saya, yang penting cerita dan keunikan dibalik foto tersebut. Semoga suka!











Tuesday, November 22, 2016

Warna-Warni Karya Tangan Penghuni Liponsos Surabaya


                Belasan wanita terlihat sedang asyik menyambung-nyambungkan potongan kain dengan berbagai warna di atas karung tipis. Beberapa belum terlihat karya apa sebenarnya yang ingin ia tunjukkan, beberapa lainnya sudah menyelesaikan satu dan memulai selanjutnya. Siang itu di hari Rabu, 16 November 2016, para wanita yang memiliki gangguan jiwa ini dengan penuh ketelatenan menggarap keset berbahan dasar sisa kain kaos.

                Wanita-wanita ini adalah penghuni Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Keputih, Surabaya. Beberapa diantaranya merupakan orang-orang hasil tangkapan Satpol PP, dan ada juga yang diserahkan ke Liponsos oleh keluarganya sendiri. Berada di Liponsos membuat mereka terisolasi dari dunia luar. Tidak ada banyak hal yang bisa mereka lakukan, atau lebih tepatnya tidak banyak tenaga kerja dan kegiatan yang disediakan oleh Liponsos. Maka, dimulai sejak tahun 2012, Liponsos memutuskan untuk membuat kegiatan rutin yang bisa menstimulus kerja otak penghuni dengan membuat kelas kerajinan tangan.

Salah satu penguhni Liponsos sedang menyelesaikan kesetnya.

                Kelas kerajinan tangan ini dipimpin oleh Wiwit Manfaati dan suaminya Supardi. Selama empat tahun mereka menjadi pengajar kerajinan tangan khusus untuk penghuni Liponsos. Kelas ini diadakan lima kali dalam seminggu. Biasanya, kelas berlangsung selama kurang lebih dua jam lamanya.

                “Dulu sebelum saya sudah ada satu tahun (kelas kerajinan tangan berjalan), tapi seminggu cuma dua kali dan hasilnya nggak maksimal. Kalau sekarang garapannya sudah lumayan, sudah agak maksimal, lebih rapi, kalau dulu masih belum diarahkan dengan baik. Misalnya dari segi warna, itu asal dicampur-campur saja. Sulaman juga belum rata. Anak-anak ini, kan, tidak seperti orang normal, kalau pingin warna apa, ya sudah warna semaunya dia pakai,” terang Wiwit.

Wiwit Manfaati, pengajar kerajinan tangan di Liponsos Keputih, Surabaya selama empat tahun.


                Mengajar kerajinan tangan kepada orang-orang yang memiliki gangguan jiwa tentu berbeda dengan mengajar orang-orang biasa. Wiwit pun mengisahkan kesulitannya ketika ia baru memulai menjadi pengajar di Liponsos.

“Awalnya saya juga kesulitan megang mereka, dulu saya biarkan mereka semaunya sendiri. Susah, tidak mau diberitahu, marah-marah sendiri. Nah, begitu mereka tahu kalau pembeli mesti beli yang warnanya bagus, mereka tahu ‘oh itu punya saya yang kemarin bu yang dibeli!’ akhirnya dia tahu sendiri kombinasi warna yang bagus, garapannya bagus. Akhirnya mau diarahkan. Kalau menurut saya jelek ya dia mau membongkar dan memulai dari awal,” jelas Wiwit.

Wanita yang senang membuat kerajinan tangan sejak kecil ini menyadari potensi dari hasil-hasil karya penghuni Liponsos. Tidak hanya membuat keset, ia juga mengajari mereka menyulam, menjahit, hingga membuat bunga dari kulit bawang putih, bros, mukenah, hiasan kulkas, dan lain-lain. Hasilnya pun cukup memuaskan.

“Hasil karya ini biasanya dititipikan di sentra-sentra UKM Surabaya, seperti di Siola, CITO, macam-macam. Kalau saya lagi pameran juga biasanya saya bawa, misalnya seperti roadshow Pahlawan Ekonomi, itu saya pamerkan di sana. Banyak yang beli. Pengunjung yang datang ke Liponsos ini juga suka membeli kerajinan ini. Sering ada yang memborong sampai habis,” katanya bangga.




Beberapa contoh hasil karya wanita-wanita penghuni Liponsos. Gambar pertama merupakan mukenah berbahan dasar katun Jepang. Kemudian gambar kedua adalah hiasan-hiasan perabot rumah seperti kulkas, meja, dll. Gambar ketiga adalah rupa-rupa keset karya mereka, dan gambar terakhir adalah kerajinan bunga dari kulit bawang putih.


Harga yang ditawarkan memang cukup terjangkau dan dibarengi dengan kualitas serta visual yang apik. Ia menjual mulai dari harga 500 rupiah untuk bros, dan paling mahal 200 ribu rupiah untuk mukenah yang menggunakan bahan katun Jepang. Hasil penjualan tersebut disimpan, dan seringkali digunakan untuk rekreasi dan makan-makan bersama.

“Uangnya untuk dua bulan sekali rekreasi. Kita ajak main ke taman-taman kota, seperti Taman Bungkul, Kebun Bibit, KBS, Mangrove, dan lain-lain. Satu bulan sekali kita ada acara makan-makan bersama. Makan-makannya ya macam-macam, bisa pesan-antar makanan fast food, rujak, gado-gado, bebek, lontong balap, es krim, es degan, macam-macam. Lalu satu minggu atau dua minggu sekali kita beli kue. Intinya uang dari anak-anak, kita gunakan untuk anak-anak,” tuturnya.

Selama empat tahun ini, Wiwit merasakan banyak sekali pengalaman aneh, lucu, hingga yang menakutkan. Semua pengalaman tersebut menjadi kenangan tersendiri baginya, dan ia sudah tahu cara mengatasinya.

“Kalau mereka lagi kumat itu ya, ditanya nggak menjawab, marah-marah, sempat melempar gunting sampai mengenai orang lain. Terus kadang kalau diajak rekreasi gitu ada yang hilang. Kalau waktu rekreasi mengawasi anak segini banyak, kan, susah, jadi ya sering hilang satu, hilang dua. Tapi ya nanti pasti kembali lagi. Paling lama itu hilang sebulan tapi kembali lagi, namanya Erika. Hilang di Kebun Bibit Wonorejo waktu itu. Kalau Hermin hilang dua kali, yang pertama di Kebun Bibit Bratang, lalu di Kebun Bibit Wonorejo. Tapi ya terus mbalik,” ujarnya sambil tertawa.

Wiwit memiliki harapan agar apa yang ia ajarkan bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi para penghuni, baik selama mereka berada di dalam Liponsos, maupun ketika sudah di luar. Namun, ia merasa bahwa selama ini manfaat yang ia berikan hanya bersifat sementara, karena para wanita didikannya tidak diberikan tempat tinggal terpisah agar mereka bisa melanjutkan karya mereka.

“Anak-anak ini kan (tinggalnya) satu barak, antara yang level seperempat gilanya sampai yang level seratus persen gila. Saya pinginnya anak-anak yang sudah ikut kelas keterampilan ini dipisah sendiri. Rata-rata anak-anak yang ikut keterampilan ini bajunya dicuci sendiri, ditaruh di kardus, disisihkan sendiri, bisa minta ke pendamping untuk sabunnya. Tapi karena mereka jadi satu ini, jadi mereka-mereka yang sudah terstimulus otak kirinya ini untuk pengembangan mentalnya ini, kembali ke barak bertemu dengan teman-temannya yang parah-parah, ya mbalik lagi. Kan kelas kerajinan tangan ini hanya dua jam sehari. Lebih lama waktu mereka untuk bengong di barak,” jelas wanita berkerudung ini.

Wiwit berharap baik Pemerintah Kota maupun masyarakat agar memahami kondisi penghuni Liponsos, dan memahami potensi mereka yang susah mencapai tingkat maksimal karena lingkungannya.

“Akan baik sekali kalau harapan itu bisa terwujud. Karena mereka-mereka ini berpotensi menuju normal, dan memiliki keterampilan lebih.” Tutupnya.