Thursday, September 1, 2016

Tak Sekedar Impian: Surabaya, "The World City"

Narasumber: Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Dekan Fakultas Teknologi Kelautan, Guru Besar Jurusan Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh November 

            Mewujudkan Surabaya sebagai The World City merupakan salah satu mimpi besar Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Beberapa proyek besar pun ia lakukan, diantaranya adalah pembangunan Jembatan Kenjeran, Sentra Ikan Bulak, Taman Bulak, serta pengembangan Taman Hiburan Pantai Kenjeran. Pemanfaatan wilayah pesisir pantai Surabaya ini memang diharapkan mampu menggali tidak hanya potensi wisatanya saja, tetapi juga potensi masyarakatnya yang hampir seluruhnya hidup dari hasil laut.

            Digalakkannya kembali Sentra Ikan Bulak menjadi salah satu bukti nyata dari perjalanan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya demi mendukung rencana Risma. Pada tanggal 3 sampai 10 April 2016, Pemkot mengadakan “Bulak Festival 2016” yang tujuannya adalah untuk mengajak masyarakat Surabaya agar mengenal lebih dekat terhadap potensi kelautan Bulak, sekaligus mempersiapkan warga Bulak demi memasuki era pesisir kelas dunia, namun tetap mempertahankan kearifan lokal.

            Kawasan pesisir Surabaya ini memang memiliki sejuta potensi yang belum digali. Padahal, wilayah pesisir Surabaya cukup panjang, mulai dari Gunung Anyar hingga Kenjeran. Prof. Daniel M. Rosyid, dekan dari Fakultas Teknologi Kelautan sekaligus Guru Besar Jurusan Teknik Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya pun turut mengakui hal ini.

“Potensi pesisir Surabaya sangat besar. Sebagian sudah dimanfaatkan sejak lama melalui Pelabuhan Tanjung Perak sejak zaman Belanda dulu. Juga penempatan Pangkalan Utama TNI AL,” jelas Daniel.

            Potensi yang besar tersebut masih belum mencapai batas maksimalnya. Masih banyak lagi yang bisa dilakukan oleh Pemkot untuk mewujudkan proyek impian ini.

“Untuk waterfornt-nya belum dimanfaatkan untuk wisata bahari. Hutan mangrove di Pantai Timur bisa jadi destinasi ekowisata dan tempat budidaya kepiting,” ujar pria kelahiran Klaten ini.

Waterfront Development adalah sebuah konsep pengembangan daerah tepian air baik itu laut, sungai, maupun danau yang dicetuskan oleh James Rouse. Beberapa contoh kota di Indonesia yang telah berhasil melakukan pengembangan waterfront adalah Jakarta, Manado, Makasar, Banjarmasin, serta Palembang. Di dunia internasional, beberapa contoh perkawinan sukses nan elok antara air dan kota adalah Venesia, Italia, juga San Antonio, Texas.

Rencana pengembangan waterfront ini sangat didukung oleh Daniel. Ia pun menilai langkah-langkah yang dilakukan oleh Pemkot selama ini sudah cukup baik.

Pemkot era Bu Risma ini lebih sadar lingkungan dan kreatif. Tata ruang pesisir kota Surabaya sudah dirumuskan untuk menjamin pemanfaatan pesisir yang berkelanjutan. Untuk hasil Pemkot yang paling baik menurut saya ya kawasan wisata Bulak yang sekaligus menghidupkan Sentra Ikan Bulak,” katanya.

Daniel berharap agar Pemkot tidak hanya fokus pada pengembangan wilayah pesisir saja, tetapi juga sungai-sungai di Surabaya.

“Kawasan sungai-sungai di Surabaya juga perlu direvitalisasi menjadi Kawasan Kota Lama, sekaligus untuk marina sebagai fasilitas sandar buat yachts.” Tutupnya.

            Beberapa fasilitas sandar untuk yacht yang paling populer di dunia adalah San Fransisco Bay, California, Newport Beach, California, Newport, Rhode Island, Cowes, Isle of Wight, dan masih banyak lagi. San Fransisco Bay merupakan kota dengan pendapatan perkapita yang masuk dalam lima tertinggi di California, dan masuk dalam jajaran 25 daerah terkaya di Amerika.


Yachts di San Fransisco Bay.
Sumber: http://goista.com/wp-content/uploads/2015/04/The-Flet-Week-Lifestyle-and-Liberal-Politics-of-The-San-Francisco-Bay-Area.jpg

            Bisa dibayangkan bagaimana meningkatnya kesejahteraan Surabaya bila proyek ini berhasil diwujudkan, bukan? Untuk menjadikan proyek ini tak sekedar mimpi belaka bukanlah hal yang mudah. Tidak hanya Pemkot yang bekerja untuk ini, tetapi juga warga Surabaya. Jadi, siapkah Anda menyambut Surabaya: The World City?

Fatlakah, Memajukan Kampung Kumuh Lewat Kreatifitas

Fatlakah dengan sampah-sampah yang nantinya akan di daur ulang dan bisa dijual kembali.

            Seseorang yang berhati besar dan mau menjadi agen perubahan memang tak mudah untuk ditemukan. Namun, siapa sangka, sosok seperti ini ternyata bisa kita temui di sebuah rumah mungil di dalam gang yang tak kalah kecilnya di daerah Rungkut Lor, Surabaya.

            Fatlakah, namanya. Perempuan berumur 43 tahun ini merupakan sosok yang berjasa sangat besar bagi kampungnya, terutama di bidang lingkungan, sosial, dan ekonomi. Ia adalah sosok yang berani menantang ketidakmungkinan dan mewujudkan perubahan. Tentu apa yang dilakukan oleh Fatlakah ini bukanlah hal yang mudah. Tidak sedikit orang yang mencemooh dan meragukan dirinya. Apalagi, kegiatan yang ia lakukan melibatkan benda yang paling tidak disukai dan dihindari oleh masyarakat, yakni sampah.

            Sejak tahun 2005, Fatlakah telah menjadi kader lingkungan Surabaya, dan ditunjuk sebagai kader pekerja sosial masyarakat (PSM) di tahun 2007. Memiliki jiwa sosial yang tinggi diikuti dengan kemampuan dan kreatifitas membuat Fatlakah semakin mudah untuk menjalankan tugas-tugasnya sebagai kader.

            “Saya dari kecil memang suka kreatifitas. Ya Tuhan itu maha adil ya, ketika saya menjadi single parent dan hanya lulusan SMP, saya bisa bisa mencari rezeki dengan ilmu keterampilan yang diberikan oleh Tuhan. Ya itu tadi kalau kita punya niat, punya ilmu, materi pasti mengikuti,” tutur ibu dua anak ini.

            Ia mengaku bahwa hasil dari kerajinan daur ulangnya ini memang sangat membantu kehidupannya dari segi finansial. Namun, tujuan utama ia berkiprah di jalan ini bukan sekadar materi, tetapi ia ingin menjadi agen perubahan di masyarakat.

            “Dari awal saya niatkan untuk penghasilan dari daur ulang sampah ini disisihkan untuk kas RT. Dibantu sama warga juga, jadi kalo ada fee transport misalnya, disisihkan untuk kas kampung. Jadi untuk memberdayakan warga juga, selain lingkungan. Paling bangga itu ya kalau kita berhasil menjadi juara sekaligus bermanfaat,” jelas perempuan yang juga seorang Bunda PAUD ini.

            Berbagai kerajinan dari sampah telah ia buat, mulai dari tas, sandal, tempat tisu, dompet, hingga pakaian. Ia sering mendapatkan pesanan untuk hasil kerajinannya tersebut. Apalagi di bulan Juni ini, banyak acara bertemakan lingkungan seperti Merdeka Dari Sampah dan Surabaya Green and Clean. Ia juga pernah mendapat pesanan dari luar pulau seperti Kalimantan, misalnya. Dari seluruh kerajinan yang pernah ia buat, yang paling menantang menurutnya adalah pembuatan rok dari plastik atau botol bekas.

            “Karena dia perlu waktu paling banyak ya. Biasanya orang2 minta model2 seperti bulu merak, itu susah. Ngecatnya butuh waktu lama,” tuturnya.

            Walau hasil kerajinannya bisa dibeli, Fatlakah lebih suka bila ia mengajari masyarakat untuk membuat kerajinan sendiri.

“Saya lebih suka jadi narasumber daripada mereka beli. Kalau ada pendampingan gitu kan ada niat untuk mengembangkan lagi ilmunya. Jadi ketika saya mendampingi suatu wilayah, saya harap tahun depan saya sudah tidak mendampingi lagi disitu, tapi yang saya dampingi itu bisa menularkan ke yang lain, itu yang membuat saya bangga,” katanya sambil tersenyum.

            Di kampungnya, perempuan berkerudung ini berhasil melakukan gebrakan baru. Beberapa diantaranya adalah koperasi bank sampah, Urban Farming, dan kompos Takakura.

            “Kalau koperasi bank sampah, orang-orang bisa pinjam uang dengan membayarkan pakai sampah. Kita kelompokkan dulu awalnya, jadi setiap warga dikoordinasi untuk mengumpulkan sampah. Modalnya dari itu dulu. Siapapun boleh mengumpulkan sampah. Nah kalau sudah selesai satu tahun, nanti hasil dari bank sampah itu dibagikan,” jelas perempuan yang akrab disapa Laka ini.

            Hasil dari bank sampah itu ternyata berdampak sangat positif terhadap masyarakat di kampungnya. Dari segi sosial, mereka menjadi lebih guyub, lebih peka dan lebih peduli terhadap lingkungan. Sedangkan dari segi ekonomi, mereka bisa mendapat penghasilan tambahan hingga satu juta rupiah, tergantung rajin tidaknya mereka mengumpulkan sampah. Ini juga yang akhirnya mengantarkan Rungkut Lor RT 3 RW  14 Kelurahan Kalirungkut memenangkan berbagai penghargaan bergengsi di Surabaya, salah satunya adalah Surabaya Green and Clean.

            “Nggak hanya itu, dengan adanya bank sampah, masyarakat bisa membayar sekolah misalnya, juga membayar pengobatan dengan meminjam dari koperasi ini,” tuturnya.

            Selain bank sampah, ia juga berhasil menerapkan Urban Farming, yakni penanaman tumbuhan untuk dikonsumsi yang bisa dilakukan di lahan sempit. Ia bersama dengan para tetangganya menanam mulai dari berbagai macam sayuran, cincau, hingga tanaman toga yang berfungsi sebagai obat tradisional.

            “Intinya saya mengupayakan warga itu daripada beli, ayo nanam sendiri. Awalnya susah ngajak warga, tapi setelah kita memberikan contoh mereka pasti mengikuti. Ya intinya tut wuri handayani,” jelasnya.

            Kemudian, ia juga mencetuskan ide bagaimana agar sampah hasil rumah tangga bisa memiliki nilai guna yang lebih tinggi. Caranya adalah dengan mengubah sampah menjadi pupuk kompos dengan model Takakura. Keranjang Takakura adalah metode pengolahan sampah organik yang bisa dilakukan di rumah. Keranjang ini terbuat dari plastik dan berlubang yang berfungsi untuk pembusukan aerob dan sirkulasi udara. Keunggulan dari pupuk organik ini adalah ia tidak berbau, berbeda dengan pupuk kompos yang dihasilkan dari kotoran hewan. Pupuk ini bisa bertahan selama satu tahun.

            “Tujuannya agar warga punya inisiatif sendiri untuk mengolah sampah hasil rumah tangga mereka. Karena sumber sampah itu sendiri kan dari rumah, dari kita. Sampah hasil belanja, makan, dan lain-lain. Nah itu kira harus bertanggungjawab, dari sampah-sampah ini kita harus bisa menghasilkan sesuatu, harus bisa mengolah. Kita bisa memberdayakan warga untuk lebih cinta lingkungan,” terangnya.

            Untuk membawa sebuah perubahan ternyata tidak memerlukan harta, atau mungkin pendidikan yang tinggi. Dengan adanya usaha dan niat untuk menjadi yang lebih baik, maka kita bisa melakukan suatu perubahan, seperti yang dilakukan oleh Fatlakah. Dimulai dari diri kita sendiri, dan lingkungan dimana kita berada.