Tuesday, March 14, 2017

Nama-nama Harum yang Hilang

Wawancara dengan Dr. Sarkawi B. Husain, M.Hum.
Dosen Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga



Berbicara soal pahlawan nasional, masyarakat Surabaya sangat akrab dengan nama-nama seperti Bung Tomo, HOS Tjokroaminoto, Soekarno dan M. T. Haryono. Sedangkan untuk tokoh politik yang tercatat ada Try Sutrisno, Wakil Presiden Indonesia ke-6 periode 1993-1998 dan Menteri Luar Negeri Indonesia tahun 1956-1957 yaitu Roeslan Abdulgani.

Nama-nama tersebut dan nama-nama lainnya yang tercatat dalam sejarah tokoh Surabaya, seluruhnya adalah laki-laki. Tokoh perempuan Surabaya sendiri sangat jarang disebutkan dalam sejarah. Padahal menurut Dr. Sarkawi B. Husain, dosen jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga Surabaya, Surabaya memiliki tokoh-tokoh perempuan yang tidak terekspos dan minim sekali literatur tentang mereka.

“Sepanjang pengetahuan saya, sekali lagi sepanjang pengetahuan saya, Surabaya berbeda dengan kota-kota lain Indonesia yang memiliki tokoh perempuan yang terkenal, seperti R.A. Kartini, Dewi Sartika, Tjut Nyak Dien, dan lain-lain. Namun demikian, pada tahun 1950an Surabaya memiliki banyak tokoh perempuan yang aktif dalam dunia politik dan sosial. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Ny. R.A. Poeger yang lahir pada 27 November 1909, dan Ny. Moedjiati Meodjio yang lahir pada 15 Mei 1915,” tutur Sarkawi.

Sejarah dari kedua tokoh ini ia ketahui dari buku terbitan tahun 1958 yang berjudul “Gema: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan Propinsi Djawa Timur”. Sarkawi sendiri mengakui bahwa memang cukup sulit menemukan sumber bacaan yang menceritakan soal Ny. R. A. Poeger dan Ny. Moedjiati Meodjio.

Ny. R.A. Poeger sangat aktif dalam dunia sosial, pergerakan, dan politik. Pada tahun 1950-1956, beliau menjadi anggota Dewan Pemerintah Daerah Sementara Kota Besar Surabaya. Kemudian menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Peralihan (DPRDP) dan dipercaya sebagai ketua Fraksi Partai Nasional Indonesia (PNI),” jelas penulis artikel “The Improvement of Kampong as an Instrument to Mitigate Floods in Surabaya” ini.

Ny. Poeger.
Sumber: Gema: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan Propinsi Djawa Timur, 1958


Dalam organisasi sosial politik, Poeger memiliki pengalaman  yang banyak. Perempuan kelahiran 27 November 1909 di Bangil, Pasuruan ini menjadi anggota pengurus atau penulis Jong Java Malang tahun 1923-1925. Dilanjutkan pada tahun 1929 ia menjadi anggota PNI Malang. Poeger juga dipercaya sebagai Ketua Organisasi Sosial Budi Rini Malang pada tahun 1934-1942. Ia lalu pindah menjadi anggota PNI Surabaya dan pada tahun 1946-1953 menjadi Penulis Dewan Daerah dan Anggota Dewan Pusat, dan catatan terakhit menyebutkan ia pernah menjabat sebagai Ketua Komisariat Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI) Jawa Timur di tahun 1952-1953.

Fraksi PNI DPRD-P Jawa Timur. Ny . R.A.A. Poeger
sebagai ketua fraksi baris depan kedua dari kiri
Sumber: Gema, 1958:61


Selain sepak terjangnya di dunia sosial dan politik, sisi kehidupan Poeger lainnya adalah ia menyelesaikan pendidikan di MULO pada tahun 1925. Ia juga memiliki ijazah Stenografie dan Typen System Sir I Pitman (1928) dan System Groote (1929) dari Federatie van Stenografie Leeraressen di Indonesia. Pada tahun 1932-1947, Poeger menjadi pemimpin umum kursus stenografie dan typen di Malang dan pada tahun 1949-1951, Poeger memimpin lembaga yang sama di Surabaya.

Tokoh perempuan yang juga berkecimpung dalam dunia sosial dan politik adalah Ny. Moedjiati Meodjio. Perempuan kelahiran 15 Mei 1915 ini adalah seorang anggota parlemen perempuan dari PNI. Selain itu, ia juga merupakan seorang guru. Moedjiati Meodjio merupakan menyelesaikan pendidikannya di Hollandsch Indlansche School (HIS) dan MULO di Yogyakarta serta Katholiek Middelbare Huishoudschool di tahun 1932.

Ny. Moedjiati Meodjio
Sumber: Gema: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan Propinsi Djawa Timur, 1958

“Ny. Moedjiati Meodjio memiliki dalam dunia sosial-politik tidak kalah hebatnya dari Ny. R.A. Poeger. Dia adalah anggota parlemen perempuan dari PNI dan seorang guru. Pada tahun 1934-1936, ia menjadi guru HIS Parindra di Surabaya. Tugasnya sebagai seorang guru membuatnya berpindah-pindah dari daerah satu ke daerah lainnya, mulai dari Yogyakarta, Bondowoso, Balikpapan, Samarinda, hingga Surabaya. Lalu di tahun 1953-1957, beliau diangkat sebagai penilik pada kantor Inspeksi Pendidikan Masyarakat Kota Besar Surabaya,” kata Sarkawi.

Tidak hanya sampai di situ, kiprah Moedjiati Meodjio di dunia sosial politik dilanjutkan sebagai ketua Kongres Wanita Surabaya pada tahun 1955-1957. Di rentang tahun yang sama pula, ia menjadi ketua umum Korps Sukarela PMI Surabaya, anggota Pleno Dewan Daerah PNI Jawa Timur, Ketua Umum Dewan Daerah Wanita Demokrat Jawa Timur, Wakil Ketua Gabungan Organisasi Wanita Surabaya, dan anggota DPRDP Provinsi Jawa Timur.

Seksi Sosial DPRDP dimana Ny. Moedjiati Meodjio menjadi salah seorang anggotanya. Sarkawi meyakini bahwa ia berada di pojok sebelah kiri bawah.
Sumber: Gema, 1958:55

Sarkawi menyakini bahwa kedua tokoh tersebut diberi kepercayaan yang tinggi oleh masyarakat, terutama melihat posisi-posisi yang pernah ditempati oleh mereka.

“Ini terbukti dari keduanya yang pernah menjadi pemimpin dari berbagai lembaga hingga menjadi anggota DPRD-P. Posisi ketua fraksi yang pernah diemban oleh Ny. Poeger misalnya, menjadi bukti bahwa kapasitasnya sebagai tokoh perempuan yang terdidik sangat diparesiasi oleh lingungan sekitarnya,” jelasnya.

Ny. R. A. Poeger dan Ny. Moedjiati Meodjio mungkin hanya sekelumit dari tokoh-tokoh berjasa perempuan lainnya yang kita ketahui. Sarkawi pun sangat menyayangkan hal ini, ia berharap Pemkot Surabaya bisa melakukan lebih untuk keabadian tokoh-tokoh ini, sebelum nama-nama harum ini hilang ditelan waktu.

“Sepanjang pengetahuan saya, belum ada hal yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya terhadap paling tidak kedua tokoh ini. Bisa jadi ini karena ketidaktahuan pemerintah kota akan adanya perempuan-perempuan yang berjasa dan penting dalam perjalanan Kota Surabaya atau sebab lain yang saya tidak tahu. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk menghargai tokoh-tokoh ini, termasuk tokoh lain yang berjasa pada perjalanan Kota Surabaya. Pertama, Pemkot perlu segera membuat “monumen kata” terhadap tokoh ini.  “Monumen kata” yang saya maksud adalah perlu segera dilalukan penelusuran dan pengumpulan data berkaitan dengan perjalanan hidup mereka. Hal ini mungkin bisa dilakukan oleh Kantor Arsip Kota dan Perpustakaan. Dari data tersebut, biografi yang “serius” atas keduanya perlu segera dibuat. Perlu diingat, karena faktor usia, kita berkejaran dengan nara sumber atau keluarga yang  bisa memberikan keterangan tentang tokoh-tokoh tersebut. Kedua, jika buku biografi atau “monumen kata” tersebut sudah jadi, maka perlu diseminasikan kepada berbagai kalangan, seperti sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya. Ketiga, Pemkot Surabaya perlu memikirkan untuk memberikan penghargaan kepada mereka (tentu melalui ahli warisnya) yang bentuknya terserah pemkot, entah dalam bentuk material atau yang lain.”