Wawancara dengan Dr. Sarkawi B. Husain, M.Hum.
Dosen Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga
Berbicara soal pahlawan nasional, masyarakat Surabaya
sangat akrab dengan nama-nama seperti Bung Tomo, HOS Tjokroaminoto, Soekarno
dan M. T. Haryono. Sedangkan untuk tokoh politik yang tercatat ada Try
Sutrisno, Wakil Presiden Indonesia ke-6 periode 1993-1998 dan Menteri Luar
Negeri Indonesia tahun 1956-1957 yaitu Roeslan Abdulgani.
Nama-nama tersebut dan nama-nama lainnya yang
tercatat dalam sejarah tokoh Surabaya, seluruhnya adalah laki-laki. Tokoh
perempuan Surabaya sendiri sangat jarang disebutkan dalam sejarah. Padahal
menurut Dr. Sarkawi B. Husain, dosen jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga
Surabaya, Surabaya memiliki tokoh-tokoh perempuan yang tidak terekspos dan
minim sekali literatur tentang mereka.
“Sepanjang pengetahuan saya, sekali lagi
sepanjang pengetahuan saya, Surabaya berbeda dengan kota-kota lain Indonesia
yang memiliki tokoh perempuan yang terkenal, seperti R.A. Kartini, Dewi
Sartika, Tjut Nyak Dien, dan lain-lain. Namun demikian, pada tahun 1950an
Surabaya memiliki banyak tokoh perempuan yang aktif dalam dunia politik dan
sosial. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Ny.
R.A. Poeger yang lahir pada 27 November 1909, dan Ny. Moedjiati Meodjio yang lahir pada 15 Mei 1915,” tutur Sarkawi.
Sejarah dari kedua tokoh ini ia ketahui dari
buku terbitan tahun 1958 yang berjudul “Gema: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan Propinsi Djawa Timur”.
Sarkawi sendiri mengakui bahwa memang cukup sulit menemukan sumber bacaan yang
menceritakan soal Ny. R. A. Poeger dan Ny. Moedjiati Meodjio.
“Ny. R.A. Poeger sangat aktif dalam dunia
sosial, pergerakan, dan politik. Pada tahun 1950-1956, beliau menjadi anggota
Dewan Pemerintah Daerah Sementara Kota Besar Surabaya. Kemudian menjadi anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Peralihan (DPRDP) dan dipercaya sebagai ketua
Fraksi Partai Nasional Indonesia (PNI),” jelas penulis artikel “The Improvement of Kampong as an Instrument
to Mitigate Floods in Surabaya” ini.
Ny. Poeger. Sumber: Gema: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan Propinsi Djawa Timur, 1958 |
Dalam organisasi sosial politik, Poeger
memiliki pengalaman yang banyak.
Perempuan kelahiran 27 November 1909 di Bangil, Pasuruan ini menjadi anggota
pengurus atau penulis Jong Java Malang tahun 1923-1925. Dilanjutkan pada tahun
1929 ia menjadi anggota PNI Malang. Poeger juga dipercaya sebagai Ketua
Organisasi Sosial Budi Rini Malang pada tahun 1934-1942. Ia lalu pindah menjadi
anggota PNI Surabaya dan pada tahun 1946-1953 menjadi Penulis Dewan Daerah dan
Anggota Dewan Pusat, dan catatan terakhit menyebutkan ia pernah menjabat
sebagai Ketua Komisariat Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI) Jawa
Timur di tahun 1952-1953.
Fraksi PNI DPRD-P Jawa Timur. Ny . R.A.A. Poeger
sebagai ketua fraksi baris depan kedua dari kiri
Sumber: Gema, 1958:61
|
Selain sepak terjangnya di dunia sosial dan
politik, sisi kehidupan Poeger lainnya adalah ia menyelesaikan pendidikan di
MULO pada tahun 1925. Ia juga memiliki ijazah Stenografie dan Typen System Sir
I Pitman (1928) dan System Groote (1929) dari Federatie van Stenografie Leeraressen
di Indonesia. Pada tahun 1932-1947, Poeger menjadi pemimpin umum kursus
stenografie dan typen di Malang dan pada tahun 1949-1951, Poeger memimpin
lembaga yang sama di Surabaya.
Tokoh perempuan yang juga berkecimpung dalam
dunia sosial dan politik adalah Ny. Moedjiati Meodjio. Perempuan kelahiran 15
Mei 1915 ini adalah seorang anggota parlemen perempuan dari PNI. Selain itu, ia
juga merupakan seorang guru. Moedjiati Meodjio merupakan menyelesaikan
pendidikannya di Hollandsch Indlansche School (HIS) dan MULO di Yogyakarta
serta Katholiek Middelbare Huishoudschool di tahun 1932.
Ny. Moedjiati Meodjio Sumber: Gema: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan Propinsi Djawa Timur, 1958 |
“Ny. Moedjiati Meodjio memiliki dalam dunia
sosial-politik tidak kalah hebatnya dari Ny. R.A. Poeger. Dia adalah anggota
parlemen perempuan dari PNI dan seorang guru. Pada tahun 1934-1936, ia menjadi
guru HIS Parindra di Surabaya. Tugasnya sebagai seorang guru membuatnya
berpindah-pindah dari daerah satu ke daerah lainnya, mulai dari Yogyakarta,
Bondowoso, Balikpapan, Samarinda, hingga Surabaya. Lalu di tahun 1953-1957,
beliau diangkat sebagai penilik pada kantor Inspeksi Pendidikan Masyarakat Kota
Besar Surabaya,” kata Sarkawi.
Tidak hanya sampai di situ, kiprah Moedjiati
Meodjio di dunia sosial politik dilanjutkan sebagai ketua Kongres Wanita
Surabaya pada tahun 1955-1957. Di rentang tahun yang sama pula, ia menjadi
ketua umum Korps Sukarela PMI Surabaya, anggota Pleno Dewan Daerah PNI Jawa
Timur, Ketua Umum Dewan Daerah Wanita Demokrat Jawa Timur, Wakil Ketua Gabungan
Organisasi Wanita Surabaya, dan anggota DPRDP Provinsi Jawa Timur.
Seksi
Sosial DPRDP dimana Ny. Moedjiati Meodjio menjadi salah seorang anggotanya. Sarkawi meyakini bahwa ia berada di pojok sebelah kiri bawah.
Sumber: Gema, 1958:55
|
Sarkawi menyakini bahwa kedua tokoh tersebut
diberi kepercayaan yang tinggi oleh masyarakat, terutama melihat posisi-posisi
yang pernah ditempati oleh mereka.
“Ini terbukti dari keduanya yang pernah
menjadi pemimpin dari berbagai lembaga hingga menjadi anggota DPRD-P. Posisi
ketua fraksi yang pernah diemban oleh Ny. Poeger misalnya, menjadi bukti bahwa
kapasitasnya sebagai tokoh perempuan yang terdidik sangat diparesiasi oleh
lingungan sekitarnya,” jelasnya.
Ny. R. A.
Poeger dan Ny. Moedjiati Meodjio mungkin hanya sekelumit dari tokoh-tokoh
berjasa perempuan lainnya yang kita ketahui. Sarkawi pun sangat menyayangkan
hal ini, ia berharap Pemkot Surabaya bisa melakukan lebih untuk keabadian
tokoh-tokoh ini, sebelum nama-nama harum ini hilang ditelan waktu.
“Sepanjang pengetahuan saya, belum ada hal
yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya terhadap paling tidak kedua tokoh ini. Bisa
jadi ini karena ketidaktahuan pemerintah kota akan adanya perempuan-perempuan
yang berjasa dan penting dalam perjalanan Kota Surabaya atau sebab lain yang
saya tidak tahu. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk menghargai
tokoh-tokoh ini, termasuk tokoh lain yang berjasa pada perjalanan Kota
Surabaya. Pertama, Pemkot perlu
segera membuat “monumen kata” terhadap tokoh ini. “Monumen kata” yang saya maksud adalah perlu
segera dilalukan penelusuran dan pengumpulan data berkaitan dengan perjalanan
hidup mereka. Hal ini mungkin bisa dilakukan oleh Kantor Arsip Kota dan Perpustakaan.
Dari data tersebut, biografi yang “serius” atas keduanya perlu segera dibuat.
Perlu diingat, karena faktor usia, kita berkejaran dengan nara sumber atau
keluarga yang bisa memberikan keterangan
tentang tokoh-tokoh tersebut. Kedua,
jika buku biografi atau “monumen kata” tersebut sudah jadi, maka perlu diseminasikan
kepada berbagai kalangan, seperti sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga
pemerintah lainnya. Ketiga, Pemkot
Surabaya perlu memikirkan untuk memberikan penghargaan kepada mereka (tentu
melalui ahli warisnya) yang bentuknya terserah pemkot, entah dalam bentuk
material atau yang lain.”